NAMA : Rizal Adamani Rahmatullah
NIM :1608102044
JURUSAN :PBA-B
MATA KULIAH :Madkhal
‘Ilm Ad-Dalalah Wal-Ma’ajim
REFERENSI : Taufiquttachman, Leksikologi Bahasa Arab, Yogyakarta:
UIN Malang press, 2008.
Teori Memahami Makna
Dalam linguistik moderen, ada beberapa teori yang dipakai untuk
memahami makna antara lain:
A.
Nadzariyah Isyariyah
(Teori Referensial)
teori Referensial/Isyariyah adalah teori pertama yang berusaha
memahami hakekat makna. Teori ini berpendapat bahwa makna sebuah ungkapan kata/kalimat
ialah yang dirujuknya atau untuk apa ungkapan dipakai. Umpamanya, ungkapan “si
manis”, berarti kucing yang bernama si manis “kucing” adalah jenis kucing atau
sifat-sifat yang dipunyai kucing.
Menurut teori referensial, sebuah makna tergantung pada
sesuatu/acuan yang ditunjukkan oleh kata/kalimat, dan sesuatu itu berada di
luar kata/bahasa. Acuan/sesuatu yang berada di luar, jelas tidak terbatas.
Karena itu, teori ini berupaya membatasi acuan dengan cara mengklasifikasikan
dalam beberapa hal, yaitu:
1.
Isim
Alam; yaitu: acuan berupa benda tunggal yang telah tertentu (mu’ayyan)
yang berada di luar bahasa.
2.
Kata
Kerja; yaitu: acuan berupa peristiwa (huduts) yang berada di luar
bahasa.
3.
Kata
Sifat; yaitu: acuan berupa karakteristik/sifat benda yang berada di luar
bahasa.
4.
Ahwal;
yaitu: acuan berupa karakteristik peristiwa yang terjadi di luar bahasa.
5.
Isim
Jenis; yaitu: acuan pada sesuatu yang belum tertentu, seperti: kata pohon,
berarti semua pohon yang berada yang diacu dan di luar bahasa.
Dalam pemahaman makna, teori referensial melakukan analisis
terhadap acuan, sehingga makna adalah hubungan antara bahasa/kata dengan
benda/acuan, sebagaimana teori ‘segituga makna’ di atas. Kelemahan teori
referensial adalah adanya ketidaksamaan antara kata dan acuan.
Berikut beberapa kekurangan dari teori referensial, yaitu:
1.
Adanya
beberapa kata yang tidak memiliki acuan di luar bahasa; yaitu:
a.
Al-Adawaat, seperti: إن (sesungguhnya).
b.
Kata-kata
yang bermakna kognitif, seperti الصدق (jujur).
c.
Benda-benda
tahayul, seperti: kuntilanak, tuyul dan sebagainya.
d.
Benda-benda
gaib, seperti jin, malaikat, ifrit.
2.
Adanya
perbedaan antara makna dan acuan. Terkadang, ada 2 makna tetapi acuanya satu.
Misalnya, kata bintang sore dan bintang pagi, kedua kata ini mengacu pada satu
benda langit. Contoh lain, ada satu orang, tetapi ia bisa dipanggil dengan
beberapa nama/kata misalnya: ayah, saudara, paman, dan kakek.
3.
Jumlah
makna ada satu tetapi acuanya banyak. Misalnya, kata ganti (dhamir) dan
kata isyarat.
4.
Terkadang,
sebuah acuan telah lenyap dan tinggal maknanya, seperti: kata “Istana
Babilonia”, “Perpustakaan Iskandariyah”.
B.
Nadzariyah Tashawwuriyah
(Teori Konseptual)
Nama
lain dari ‘nadzariyah tashawwuriyah’ adalah teori konseptual, teori
ideasional, menurut teori ini, makna suatu ungkapan ialah ide atau konsep yang
dikaitkan dengan ungkapan itu dalam pikiran orang yang mengetahui ungkapan itu.
Berarti, makna berada di dalam benak atau pikiran manusia (dzihniyah),
ketika sebuah kata didengar oleh pendengar atau dipikirkan oleh pembicara.
Menurut Al-Juwaini dan Al-Razi,
kata-kata mufrad (tunggal) tidak ditujukan pada acuan luar bahsa, akan tetapi
pada makna-makna yang terdapat di dalam pikiran. Pendapat yang sama dikatakan
Al-Baidhawi, Ibnu Zamalkani dan Al-Qurthuby. Al-Razi berargumen, bahwa
seseorang yang melihat sesuatu dari kejauhan, ia mengiranya batu, lalu ia
berkata batu. Ketika jaraknya lebih dekat, ia menyakininya pohon, lalu berkata
pohon. Disaat jaraknya lebih dekat lagi, ia berfikir kuda, lalu berkata kuda.
Kemudian, jika ia telah sampai dan mengetahui bahwa sesuatu itu adalah manusia,
ia pun berkata manusia. Hal ini menunjukan bahwa lafalkata dapat berubah sesuai
dengan makna yang terkonsep dalam benak seseorang, bukan pada benda/acuan yang
barada di luar.
Teori konseptual bukan tidak
memiliki kekurangan. Ada beberapa kelemahan dari teori ini, antara lain:
1.
Makna
yang diajukan oleh teori konseptual bersifat tidak jelas, karena konsep/benak
seseorang dapat berbeda-beda dan berbilang untuk satu acuan/benda. Misalnya,
ketika mendengar kata segituga, ungkapan ini pada benak seseorang dengan
orang lain dapat berbeda-beda. Adanya membayangkan segitiga sama kaki, segitiga
sama sisi dan sebagainya. jadi, makna konseptual yang ada di dalam
benak/konsepide manusia dapat berbeda dan berubah-ubah ketika mengacu pada satu
kata.
2.
Adanya
beberapa ungkapan yang berbeda-beda terkadang hanya memiliki satu makna
konseptual. Misalnya, ketika kita melihat seorang anak kecil menendang-nendang
kakinya ke tanah, kita bisa mengungkapkan beberapa kalimat: “ia kesakitan” ,
“ia berusaha membunuh semut” , “ia sedang bermain”. Artinya, kalimat /ungkapan
kita yang berawal dari konsep/ ide tidak sama dengan acuan atau realita yang kita
lihat.
3.
Ada
beberapa kata/lafal yang memiliki makna konseptual yang sifatnya tidak jelas
dan masih kontradiktif di kalangan manusia. Terutama, kata-kata seperti:
kuntilanak, raksasa dan sebagainya. demikian juga dengan kata-kata yang
bersifat metafisik (aqliyah) seperti: cinta, jujur, ragu, dan
sebagainya. semua kata-kata tidak memiliki batasan atau gambaran konseptual
yang jelas di dalam benak manusia.
C.
Nadzariyah Sulukiyah
(Teori Behavioris)
Teori
Behavioris mengatakan bahwa makna suatu ungkapan ialah rangsangan (matsir)
yang menimbulkanya, atau respon (istijab) yang ditimbulkanya, atau
kombinasi dari rangsangan dan respon, pada waktu pengungkapan kalimat itu.
Misalnya,
sebuah kisah tentang sepasang suami istri yang sedang berjalan di sebuah hutan.
di tengah perjalanan, si istri melihat sebuah apel, lalu ia berkata;’’aku
lapar’’;.suaminya mendengar perkatan itu, lalu ia memanjat pohon apel. setelah
itu, ia memberikan buah apel kepada istrinya agar dimakan.
Berangkat
dari kisah sederhana di atas, teori behavioris berpendapat, bahwa buah apel
sebagai stimulus/rangsangan dari lingkungan yang di respon isteri secara bahasa
dengan perkataan ‘’aku lapar’’. ungkapan ini menjadi stimulus bahasa yang
mendorong suami memanjat dan mengambil buah apel (respon perbuatanya).
Dengan
teori ini, berarti lingkungan memiliki andil besar dalam pembentukan bahasa dan
makna. Akan tetapi, teori ini juga masih memiliki beberapa kelemahan, di
antaranya:
1.
Keterbatasan
kemampuan mengungkapkan stimulu yang sifatnya tidak jelas ke dalam bahasa agar
menjadi respon yang bisa dipahami orang lain, seperti: rasa cinta, benci,
rindu, dan sebagainya. demikian pula sebaliknya, kita pun tidak selalu bisa
merespon ungkapan/stimulus bahasa yang memuat ungkapan multitransfer.
2.
Kemungkinan
adanya beberapa stimulus dibalik satu ungkapan. Misalnya, perkataan “aku lapar”
yang diungkapkan seorang anak, boleh jadi karena anak itu memang lapar, atau
karena ingin tidur, atau karena ia ingin bermain-main dengan maknanya.
3.
Kemungkinan
adanya beberapa respon untuk satu ungkapan. Misalnya, perkataan anak “aku
lapar”, terkadang kita meresponya dengan berbagai aksi, seperti: menyuguhkan
makanan kepadanya, atau justru memarahinya dengan kata : “bukankah kamu
barusaja makan?” atau menyuruhnya pergi ke kamar untuk segera tidur. Ini
artinya, stimulus bahasa bisa melahirkan berbagai respon aksi yang
bermacam-macam yang tidak sesuai dengan maksud dari ungkapan bahasa itu
sendiri.
D.
Nadzariyah Siyaqiyah
(Teori Kontekstual)
Menurut teori ini, cara untuk memahami makna bukan dengan melihat,
mendeskropsikan, atau mendefinisikan acuan/benda. Akan tetapi, makna dipahami
melalui konteks kebahasaan (siyaq lighawi) yang digunakan dan konteks
situasi-kondisi (siyaq hal-mawqif) pada saat ungkapan itu terjadi. Oleh
karena itu, studi tentang makna perlu menganalisis konteks kebahasaan dan
konteks situasi-kondisi secara sekaligus, tepat dan cermat.
Konteks (siyaq) menurut bahasa berarti kesesuaian dan
hubungan. Di sini, konteks berarti lingkungan kebahasaan (intra-lingual)
dan luar-kebahasaan (ekstra-lingual) yang meliputi wacana dan mengungkap
makna.
1.
Konteks
Bahasa (Siyaq Lughawi)
Lingkungan
kebahasaan yang mencakup bagian-bagian bahasa seperti: kosakata, kalimat,
wacana. Unsur-unsurnya dibedakan menjadi 4 aspek, yaitu:
a.
Struktur
Fonem (Tarkib Shauti)
b.
Struktur
Morfologis (Tarkib Sharfi)
c.
Struktur
Sintaksis (Tarkib Nahwi)
d.
Struktur
Leksikal (Tarkib Mu’jami)
e.
Unsur
Idiomatik (Mushahabah)
f.
Unsur
Pragmatik (Uslub)
2.
Konteks
Situasi-kondisi (Siyaq Mawqif-Hal)
Unit-unit
yang ada di dalam sebuah ungkapan kalimat (bahasa) bukan sekedar susunan
beberapa kata. Akan tetapi, lebih daripada itu, unit-unit intra-lingual juga
berhubungan dengan hal-hal lain diluar kebahasaan (ekstra-lingual).
Aspek
konteks yang perlu dipertimbangkan dalam memahami makna, antara lain:
a.
Bahasa
Perbuatan (Al-Kalam Al-Fi’li)
b.
Karakter
Penutur Bahasa (Thabi’ah Al-Mutahadditsin)
c.
Karakter
Tema Pembicaraan (Thabi’ah Al-Asyya’)
d.
Aksi/Situasi
Bahasa (Al-Af’al Al-Mushahabah li Al-Kalam)
e.
Wakttu
Pembicaraan (Zaman Al-Kalam)
3.
Konteks
Sosial-Budaya
Yaitu situasai
sosial atau budaya pada saat ungkapan bahasa terjadi. Makna sebuah ungkapan
dapat berubah karena perbedaan aspek sosial atau budaya. Misalnya, kata جذر bagi ahli
tumbuhan berarti “benih”, lain halnya bagi ahli bahasa yang berarti “asal
kata”, sedangkan ahli matematika memahaminya “akar pangklat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar