NAMA : Rizal Adamani Rahmatullah
NIM :1608102044
JURUSAN :PBA-B
MATA KULIAH :Madkhal
‘Ilm Ad-Dalalah Wal-Ma’ajim
REFERENSI : Taufiquttachman, Leksikologi Bahasa Arab, Yogyakarta:
UIN Malang press, 2008.
JENIS MAKNA
Karena bahasa digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam
kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-macam
dilihat dari segi atau pandngan yang berbeda.
A.
Makna
Leksikal, Makna Gramatikal, Makna Kontekstual
Makna leksikal Adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai
dengan hasil observasi indra kita, maka ia bersifat apa adanya, atau makna yang
ada di dalam kamus. Misalnya, leksem ‘kuda’ memiliki makna leksikal sejenis
binatang berkaki empat yang bisa dikendarai, ‘pensil’ bermakna leksikal sejenis
alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang.
Makna
gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal seperti afiksasi,
reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Umpamanya, dalam proses aplikasi
prefiksi ber- dengan baju melairkan makna gramatikal ‘mengenakan atau memakai
beju’, dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal ‘mengendarai kuda’.
Makna
kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada dalam satu
konteks. Misalnya, makan konteks kepala kepada kalimat berikut:
·
Rambut
di kepala nenek belum ada yang putih.
·
Sebagai
kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
·
Nomor
teleponya ada pada kepala surat itu.
·
Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasi-situasinya, yakni
tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Contohnya, “tiga kali empat
berapa?”.
Jika dilontarkan di depan kelas tiga SD sewaktu mata pelajaran
matematika berlangsung. Tentu jawabanya dua belas. Namun kalau pertanyaan itu
dilontarkan kepada tukang photo, maka pertanyaan itu mungkin akan dijawab lima
ratus atau seribu, mengapa begitu? Sebab pertanyaan itu mengacu pada biaya
pembuatan pas photo yang berukuran tiga kali empat centimeter.
B.
Makna Referensial & Non Referensial
Sebuah makna disebut bermakna referensial kalau ada referensinya,
atau acuanya. Kata-kata seperti ‘kambing’ disebut bermakna referensial kalau
ada referensinya, atau acuanya. Kata-kata seperti ‘jika’, ‘meskipun’, adalah
kata-kata yang tidak bermakna referensial karena kata-kata itu tidak mempunyai
referensi, atau disebut juga kata bermakna ‘non referensial’ (memiliki makna,
tetapi tidak mempunyai acuan).
Berkenaan dengan acuan ini, ada sejumlah kata yang disebut
kata-kata deiktik, yang acuanya tidak menetap pada satu wujud, melainkan dapat
berpindah dari wujud yang satu ke wujud yang lain. kata-kata deiktik ini adalah
kata-kata seperti pronomina, misalnya dia, saya, kamu; kata-kata yang
menyatakan ruang, misalnya di sini, di sana, di situ; kata-kata yang menyatakan
waktu, seperti kemari, sekarang; kata-kata yang disebut kata penunjuk, misalnya
ini dan itu.
Contoh pronomina kata saya pada kalimat berikut yang acuanya tidak
sama.
1.
“Tadi
pagi saya bertemu dengan Ustadz”, kata Ani kepada Ali.
2.
“O,ya?”,
sahut Ali, “saya juga bertemu beliau taadi pagi”.
3.
“Dimana
kalian bertemu beliau?”, tanya Amir, “saya sudah lama tidak jumpa dengan
beliau”
Pada kaliamat (a) kata saya mengacu kepada Ani, pada kalimat
(b) mengacu pada Ali, dan pada kalimat (c) mengacu kepada Amir.
C.
Makna Denotatif & Makna Konotatif
Makna Denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna
sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah kata. Umpamanya, katakurus bermakna
denotatif yang mana artinya ‘keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari
ukuran yang normal’.kata bunga bermakna denotatif yaitu ‘bunga yang
seperti kita lihat di taman bunga’.
‘makna denotatif’ berlawanan dengan ‘makna konotatif’. Dalam ilmu
balaghah(ilmu bayan), makna denotatif disebut makna haqiqi, makna asal
dari suatu lafal/ungkapan yang pengertianya dipahami orang pada umumnya.
Lafal/kata/ungkapan itu lahir untuk makna itu sendiri. Sedangkan makna
konotatif, dalam ilmu balaghah, disebut makna majazi, yaitu perubahan
dari makna asal ke makna kedua. Makna ini lahir bukan untuk pengertian pada
umumnya.
Makna konotatif (makna majazi) adalah makna lain yang ditambahkan
pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa diri orang atau
kelompok yang menggunakan kata tersebut. Contoh makna konotatif, yang
menggunkan kata tersebut. Contoh makna konotatif, kata kursi, misalnya,
berkonotasi netral, artinya tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan. Tetapi
kata ramping, yaitu sebenarnya bersinonim dengan kata kurus itu
memiliki nonotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan; orang akan senang kalau
dikatakan ramping. Sebaliknya, kata krempeng, yang sebenarnya
juga bersinonim denagn kata kurus dan ramping, mempunyai nilai
rasa yang tidak enak, orang akan tidak suka kalau dikatakan tubuhnya krempeng.
Dan juga kata bunga, jika dikatakan “Fatimah adalah bunga desa kami”,
ternyata makna bunga tak sama lagi dengan makna semula. Sifat bunga yang indah
itu dipindahkan kepada Fatimah yang cantik. Dengan kata lain, orang lain
melukiskan kecantikan Fatimah yang bak bunga.
D.
Makna Konseptual & Makna Asosiatif
Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem
terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna
konseptual ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’, dan kata rumah
memiliki makna konseptual ‘bangunan tempat tinggal manusia’.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata
bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci
atau kesucian, kata merah berasosiasi dengan berani dan
kata buaya berasosiasi dengan jahat atau kejahatan. Makna asosiatif ini
sebenarnya sama dengan lambang atau perlambangan yang digunakan oleh suatu
masyarakat pengguna bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai
kemiripan dengan sifat keadaan, atau ciri yang ada konsep asal kata tersebut.
Jadi, kata melati yang bermakna konseptual ‘sejenis bunga
kecil-kecil berwarna putih dan berbau harum’ digunakan untuk menyatakan
perlambang kesucian, kata merah yang bermakna konseptual ‘sejenis
warna terang menyolok’ digunakan untuk perlambang keberanian, dan kata buaya
yang bermakna konseptual ‘ejenis binatang reptil buas yang memakan binatang apa
saja termasuk bangkai’ digunakan untuk melambangkan kejahatan atau penjahat.
E.
Makna Kata & Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makan. Pada awalnya, makna yang
dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif atau makna
konseptual. Namuan dalam penggunaan makna kata itu baru menjadi jelas kata itu
sudah berada dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum tahu
makna kata jatuh sebelum kata itu berada dalam konteksnya. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak
jelas. Kata tangan dan lengan sebagai kata, maknanya lazim
dianggap sama, seperti pada contoh (a) dan (b) berikut.
1.
Tangannya
luka kena pecahan kaca.
2.
Lengannya
luka kena pecahan kaca.
Jadi, kata tangan dan kata lengan pada kedua kalimat
di atas adalah bersinonim atau bermakna sama.
Sedangkan makna istilah adalah kata yang mempunyai makna yang
pasti, jelas dan tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Yang perlu
diingat adalah bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada keilmuan atau kegiatan
tertentu. Umpamanya, kata tangan dan kata lengan yang menjadi
contoh daitas. Kedua kata itu dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang
berbeda. Tangan bermakna ‘bagian dari pergelangan sampai ke jari
tangan’, sedangkan lengan adalah ‘bagian dari pergelangan sampai ke
pangkal bahu’. Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam
ilmu kedokteran tidak bersinonim, karena maknanya berbeda.
F.
Makna Idiom & Makna Pribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan
dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal.
Umpamanya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual
menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya, tapi dalam bahasa Indonesia
bentuk menjual gigi tidak memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna
‘tertawa keras-keras. Jadi, makna yang dimiliki bentuk menjual gigi itulah yang
disebut makna idiomatikal. Contoh lain dari idiom adalah membanting tulang
dengan makna ‘bekerja keras’, meja hijau dengan makna ‘pengadilan’.
Berbeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat diramalkan secara
leksikal maupun gramatikal, makna yang disebut pribahasa memiliki makna yang
masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya. Karena adanya
asosiasi antara makna asli dengan makna seperti pribahasa. Umpamanya, pribahasa
‘seperti anjing dan kucing’ yang bermakna ‘ihwal dua orang yang tidak
pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing
dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
Contoh lain, pribahasa ‘tong kosong nyaring bunyinya’,
maknanya orang yang banyak cakap biasanya tidak berilmu. Makna ini dapat
ditarik asosiasi tong yang berisi bila dipukul tidak mengeluarkan bunyi,
tetapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang keras dan nyaring.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar