Rabu, 04 April 2018

JENIS MAKNA

NAMA                         : Rizal Adamani Rahmatullah
NIM                             :1608102044
JURUSAN                   :PBA-B
MATA KULIAH          :Madkhal ‘Ilm Ad-Dalalah Wal-Ma’ajim
REFERENSI                :  Taufiquttachman, Leksikologi Bahasa Arab, Yogyakarta: UIN Malang press, 2008.


JENIS MAKNA
Karena bahasa digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-macam dilihat dari segi atau pandngan yang berbeda.
A.    Makna Leksikal, Makna Gramatikal, Makna Kontekstual
Makna leksikal Adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, maka ia bersifat apa adanya, atau makna yang ada di dalam kamus. Misalnya, leksem ‘kuda’ memiliki makna leksikal sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai, ‘pensil’ bermakna leksikal sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang.
Makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Umpamanya, dalam proses aplikasi prefiksi ber- dengan baju melairkan makna gramatikal ‘mengenakan atau memakai beju’, dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal ‘mengendarai kuda’.
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada dalam satu konteks. Misalnya, makan konteks kepala kepada kalimat berikut:
·         Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
·         Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
·         Nomor teleponya ada pada kepala surat itu.
·         Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasi-situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Contohnya, “tiga kali empat berapa?”.
Jika dilontarkan di depan kelas tiga SD sewaktu mata pelajaran matematika berlangsung. Tentu jawabanya dua belas. Namun kalau pertanyaan itu dilontarkan kepada tukang photo, maka pertanyaan itu mungkin akan dijawab lima ratus atau seribu, mengapa begitu? Sebab pertanyaan itu mengacu pada biaya pembuatan pas photo yang berukuran tiga kali empat centimeter.
B.     Makna Referensial & Non Referensial
Sebuah makna disebut bermakna referensial kalau ada referensinya, atau acuanya. Kata-kata seperti ‘kambing’ disebut bermakna referensial kalau ada referensinya, atau acuanya. Kata-kata seperti ‘jika’, ‘meskipun’, adalah kata-kata yang tidak bermakna referensial karena kata-kata itu tidak mempunyai referensi, atau disebut juga kata bermakna ‘non referensial’ (memiliki makna, tetapi tidak mempunyai acuan).
Berkenaan dengan acuan ini, ada sejumlah kata yang disebut kata-kata deiktik, yang acuanya tidak menetap pada satu wujud, melainkan dapat berpindah dari wujud yang satu ke wujud yang lain. kata-kata deiktik ini adalah kata-kata seperti pronomina, misalnya dia, saya, kamu; kata-kata yang menyatakan ruang, misalnya di sini, di sana, di situ; kata-kata yang menyatakan waktu, seperti kemari, sekarang; kata-kata yang disebut kata penunjuk, misalnya ini dan itu.
Contoh pronomina kata saya pada kalimat berikut yang acuanya tidak sama.
1.      “Tadi pagi saya bertemu dengan Ustadz”, kata Ani kepada Ali.
2.      “O,ya?”, sahut Ali, “saya juga bertemu beliau taadi pagi”.
3.      “Dimana kalian bertemu beliau?”, tanya Amir, “saya sudah lama tidak jumpa dengan beliau”
Pada kaliamat (a) kata saya mengacu kepada Ani, pada kalimat (b) mengacu pada Ali, dan pada kalimat (c) mengacu kepada Amir.
C.    Makna Denotatif & Makna Konotatif
Makna Denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah kata. Umpamanya, katakurus bermakna denotatif yang mana artinya ‘keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal’.kata bunga bermakna denotatif yaitu ‘bunga yang seperti kita lihat di taman bunga’.
‘makna denotatif’ berlawanan dengan ‘makna konotatif’. Dalam ilmu balaghah(ilmu bayan), makna denotatif disebut makna haqiqi, makna asal dari suatu lafal/ungkapan yang pengertianya dipahami orang pada umumnya. Lafal/kata/ungkapan itu lahir untuk makna itu sendiri. Sedangkan makna konotatif, dalam ilmu balaghah, disebut makna majazi, yaitu perubahan dari makna asal ke makna kedua. Makna ini lahir bukan untuk pengertian pada umumnya.
Makna konotatif (makna majazi) adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa diri orang atau kelompok yang menggunakan kata tersebut. Contoh makna konotatif, yang menggunkan kata tersebut. Contoh makna konotatif, kata kursi, misalnya, berkonotasi netral, artinya tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan. Tetapi kata ramping, yaitu sebenarnya bersinonim dengan kata kurus itu memiliki nonotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan; orang akan senang kalau dikatakan ramping. Sebaliknya, kata krempeng, yang sebenarnya juga bersinonim denagn kata kurus dan ramping, mempunyai nilai rasa yang tidak enak, orang akan tidak suka kalau dikatakan tubuhnya krempeng. Dan juga kata bunga, jika dikatakan “Fatimah adalah bunga desa kami”, ternyata makna bunga tak sama lagi dengan makna semula. Sifat bunga yang indah itu dipindahkan kepada Fatimah yang cantik. Dengan kata lain, orang lain melukiskan kecantikan Fatimah yang bak bunga.
D.    Makna Konseptual & Makna Asosiatif
Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’, dan kata rumah memiliki makna konseptual ‘bangunan tempat tinggal manusia’.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian, kata merah berasosiasi dengan berani dan kata buaya berasosiasi dengan jahat atau kejahatan. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat pengguna bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat keadaan, atau ciri yang ada konsep asal kata tersebut.
Jadi, kata melati yang bermakna konseptual ‘sejenis bunga kecil-kecil berwarna putih dan berbau harum’ digunakan untuk menyatakan perlambang kesucian, kata merah yang bermakna konseptual ‘sejenis warna terang menyolok’ digunakan untuk perlambang keberanian, dan kata buaya yang bermakna konseptual ‘ejenis binatang reptil buas yang memakan binatang apa saja termasuk bangkai’ digunakan untuk melambangkan kejahatan atau penjahat.  
E.     Makna Kata & Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makan. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif atau makna konseptual. Namuan dalam penggunaan makna kata itu baru menjadi jelas kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum tahu makna kata jatuh sebelum kata itu berada dalam konteksnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas. Kata tangan dan lengan sebagai kata, maknanya lazim dianggap sama, seperti pada contoh (a) dan (b) berikut.
1.      Tangannya luka kena pecahan kaca.
2.      Lengannya luka kena pecahan kaca.
Jadi, kata tangan dan kata lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau bermakna sama.
Sedangkan makna istilah adalah kata yang mempunyai makna yang pasti, jelas dan tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Yang perlu diingat adalah bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada keilmuan atau kegiatan tertentu. Umpamanya, kata tangan dan kata lengan yang menjadi contoh daitas. Kedua kata itu dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda. Tangan bermakna ‘bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan’, sedangkan lengan adalah ‘bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu’. Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran tidak bersinonim, karena maknanya berbeda.
F.     Makna Idiom & Makna Pribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya, tapi dalam bahasa Indonesia bentuk menjual gigi tidak memiliki makna seperti itu, melainkan bermakna ‘tertawa keras-keras. Jadi, makna yang dimiliki bentuk menjual gigi itulah yang disebut makna idiomatikal. Contoh lain dari idiom adalah membanting tulang dengan makna ‘bekerja keras’, meja hijau dengan makna ‘pengadilan’.
Berbeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat diramalkan secara leksikal maupun gramatikal, makna yang disebut pribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya. Karena adanya asosiasi antara makna asli dengan makna seperti pribahasa. Umpamanya, pribahasa ‘seperti anjing dan kucing’ yang bermakna ‘ihwal dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.

Contoh lain, pribahasa ‘tong kosong nyaring bunyinya’, maknanya orang yang banyak cakap biasanya tidak berilmu. Makna ini dapat ditarik asosiasi tong yang berisi bila dipukul tidak mengeluarkan bunyi, tetapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang keras dan nyaring.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar