Senin, 02 April 2018

Konsep Dasar Ilm ad-Dalalah Wa-Al-Ma'ajim

NAMA                          : RIZAL ADAMANI RAHMATULLAH
                                        adamanirizal@gmail.com
KELAS                          : PBA-B
NIM                              : 1608102044
MATA KULIAH          :MADKHAL ILMI AD-DALALAH WAL-MA’AJIM
A.    Definisi Ilm Ad-Dalalah Wa-Al-Ma’ajim
Istilah ‘ilm al-dilalah atau semantik dalam bahasa Indonesia dan semantics dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Yunani sema (nomina) yang berarti tanda atau lambang atau semanio (verba) yang berarti menandai, berarti, atau melambangkan. Dalam sumber lain, disebutkan, kata semantik itu berasal dari bahasa Yunani, semantike, bentuk muannats dari semantikos, yang berarti menunjukkan, memaknai, atau to signify. Kridalaksana (1993: 193 194) dalam kamus linguistik memberikan pengertian ilmu semantik, (1) Bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna wicara. (2) sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa dan bahasa pada umumnya. Semantik merupakan salah satu bagian dari tata bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa, dan semantik. Semantik diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna. Dalam bahasa Arab, ‘ilm- ad-dilalah terdiri atas dua kata: ‘ilm yang berarti ilmu pemgetahuan, dan al-dilalah, yang berarti penunjukkan atau makna. Jadi, ‘ilm al-dilalah menurut bahasa adalah ilmu pengetahuan tentang makna.[1]
Secara terminologis, ‘ilm- ad-dilalah sebagai salah satu cabang linguistik (‘ilm-al lughoh) yang telah berdiri sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang makna suatu bahasa, baik pada tataran mufrodat (kosa-kata) maupun pada tataran tarokib (struktur). Ahmad Mukhtar ‘Umar mendefinisikan ‘ilm ad-dilalah sebagai berikut :

دراسة المعنى أو العلم الذي يدرس المعنى أو ذلك الفرع من علم اللغة الذي يتناول نظرية المعنى أو ذلك الفرع الذي يدرس الشروط الواجب توافرها فى الرمز حتى يكون قادرا على حمل المعنى.

“ Kajian tentang makna, atau ilmu yang membahas tentang makna, atau cabang linguistik yang mengkaji teori makna, atau cabang linguistik yang mengkaji syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengungkap lambang-lambang bunyi sehingga mempunyai makna.”[2] 
B.     Objek Kajian Ilm ad-Dilalah Wa-Al-Ma’ajim
Pada uraian sebelumnya dikemukakan, bahwa semantik merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji makna atau arti dalam bahasa dan secara etiomologis berarti “menandai” atau “melambangkan”. Pertanyaan yang mengemuka adalah lambang apakah yang menjadi objek kajian semantik? Dapatkah rambu-rambu lalu lintas yang juga merupakan lambang bermakna (simbol bermakna) termasuk wilayah kajian semantik atau dapatkah gambar berikut ini yang juga merupakan lambang atau simbol bermakna juga menjadi objek kajian linguistik.

Keempat gambar di atas merupakan simbol/lambang yang memiliki makna. Gambar 1 adalah gambar timbangan yang antara bandul satu dengan yang lain simetris (seimbang). Gambar 1 tersebut dapat dijumpai di lembaga peradilan dan merupakan suatu simbol yang memiliki makna. Makna yang dimaksud oleh gambar tersebut adalah kewajiban lembaga peradilan untuk menegakkan keadilan tanpa ada diskriminasi. Menuru gambar 1 tersebut, setiap anak bangsa mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Pemberlakuan hukum harus seimbang (adil) atau tidak boleh berat sebelah sebagaimana yang dilambangkan oleh kesimetrisan kedua bandul pada timbangan tersebut. Dengan demikian, gambar 1 di atas merupakan suatu lambang atau simbol yang bermakna keadilan.
Gambar 2 adalah gambar ka’bah. Ia merupakan lambang spiritual keagamaan umat Islam. Ke arah ka’bahlah umat Islam harus menghadap pada saat melaksanakan shalat. Di samping sebagai kiblat umat Islam, Ka’bah juga melambangkan identitas keagamaan seseorang. Apabila di rumah seseorang dijumpai gambar ka’bah, maka dapat diasumsikan, bahwa pemilik rumah tersebut bergama Islam. Gambar 3 di atas juga merupakan suatu lambang spiritual sebagaimana ka’bah. Perbedaannya adalah bahwa gambar 3 ini berkaitan dengan tempat peribadatan kaum Nasrani.

            Sement            ara itu, gambar 4 merupakan lambang “cinta”. Apabila seorang pemuda/remaja memberikan lambang ini kepada seorang “cewek”, maka makna yang dapat ditangkap adalah bahwa si pemuda/remaja tersebut mengungkapkan rasa cintanya melalui bahasa gambar 4. Dengan demikian, pengungkapan rasa cinta kepada orang lain (lawan jenis), tidak harus dengan simbol-simbol kebahasaan, tetapi dapat dilakukan dengan memberikan simbol berupa gambar. 
Memang semantik mengkaji makna dari suatu lambang atau simbol, tetapi lambang atau simbol yang menjadi kajian semantik hanyalah lambang bahasa atau simbol-simbol yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal (Umar, 1982 dan Chaer, 2002). Objek semantik adalah telaah tentang makna—yang mencakup lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lainnya serta pengaruh makna terhadap manusia dan masyarakat pemakai bahasa, Mempelajari seluk beluk makna juga berarti mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa saling mengerti (Nikelas, 1988).
          Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Djajasudarma (1999), bahwa objek semantik adalah makna, dan makna dapat dianalisis melalui struktur dalam pemahaman tataran bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis). Sementara itu, ilmu yang mengkaji tentang simbol-simbol yang lebih luas (kebahasaan dan non-kebahasaan) disebut dengan semiotika atau ‘ilmu ar-rumuz (Umar, 1982).

           Dengan demikian, tanda atau lambag sebagaimana pada gambar 1 s.d. gambar 4 tidak menjadi objek kajian semantik, meskipun gambar tersebut memiliki makna. Demikian pula rambu-rambu lalu lintas di jalan raya yang memiliki makna juga bukan merupakan objek kajian semantik.[3]
Adapun ruang lingkup kajian ‘ilm al-dalalah berkisar pada: 
1.      al-dal (penunjuk, pemakna) lafadz dan al-madlul (yang ditunjuk, dimaknai, makna) serta hubungan simbolik diantara keduanya. Lafadz dalam bahasa arab dapat dikategorikan dalam 4 macam :
a.       Monosemi (al-tabayyun) yaitu, satu lafadz menunjukkan satu makna. 
b.      Hiponimi (al-isytimal) yaitu, satu lafadz yang menunjukkan makna umum yang mencangkup beberapa arti yang menjadi turunanya. Dalam pengertian lain disebutkan, hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercangkup dalam makna bentuk ujaran lain.
c.       Sinonimi (al-taroduf) yaitu, beberapa lafadz yang menunjukkan satu makna meskipun tidak sama persis. Dalam pengertian lain disebutkan pula, sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lain.
d.      Polisemi (ta’addud al-makna) yaitu, satu lafadz yang mengandung lebih dari satu makna; jika dua makna itu tidak saling berlawanan, maka disebut al-musytarok al lafdzi dan jika saling berlawanan, maka disebut al-tadhadh (antonimi). 
2.      Perkembangan makna, sebab dan kaedahnya, dan hubungan kontekstual dan situasional dalam kehidupan, ilmu dan seni. Perubahan makna kata disebabkan oleh;
a.       Faktor kebahasaan
b.      Faktor kesejarahan
c.       Sebab Sosial
d.      Faktor psikologis
e.       Pengaruh bahasa asing
f.       Karena kebutuhan akan kata-kata baru. 

3.      Majaz (kiasan) berikut aplikasi semantik dan hubungan stilisiknya Majaz dibedakan dari gaya. Arti majazi diperoleh jika denotasi kata atau ungkapan dialihkan dan mencangkupi juga denotasi lain bersamaan dengan tautan pikiran lain. Adapun tujuan pokok dalam penelitian semantik adalah agar pendegar memahami dengan baik makna yang dimaksud dari perkataan/pembicaraan lawan bicara atau ungkapan-ungkapan yang dibacanya. Dan juga untuk menghindari pengguna bahasa arab dari kesalahan semantik menyangkut pemilihan dan penggunaan kosa-kata yang tepat sesuai dengan struktur dan konteks kalimat. Termasuk juga kesalahan penggunaan istilah dan idiom dan ungkapan kinayah, isti’arah dan majaz. [4]

C.   Hubungan Semantik, Fonologi, Morfologi, Dan Sintaksis
Dalam kajian linguistik, kita mengenal apa yang disebut dengan fonologi (ilmu al-ashwat), morfologi (ash-sharf), dan sintaksis (an-nahwu). Fonologi merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang bertugas mempelajari fungsi bunyi untuk membedakan dan mengidentifikasi kata-kata tertentu (Al-Wasilah, 1985). Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari pembentukan kata (Yule, 1985). Sementara itu, sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda bahasa (Levinson, 1992), yakni hubungan antara kata/frasa yang satu dengan lainnya dalam suatu kalimat.[5]

            Semantik sebagai cabang ilmu bahasa memiliki hubungan yang erat dengan ketiga cabang ilmu bahasa di atas (fonologi, morfologi, dan sintaksis). Ini berarti, bahwa makna suatu kata atau kalimat ditentukan oleh unsur bunyi (tekanan suara dan atau nada suara atau yang lebih umum adalah suprasegmental), bentukan kata (perubahan bentuk kata), maupun susunan kata dalam kalimat. Dengan demikian, tidak mungkin semantik dipisahkan dari cabang linguistik lainnya atau sebaliknya (Umar, 1982).Perhatikan contoh berikut ini.

Contoh A. 1
(1) انت تكنس البلاط.
(2) انت تكنس البلاط؟


            Apabila kalimat (1) dan (2) pada A.1 tersebut diungkapkan secara lisan dengan nada yang sama (nada datar), maka keduanya memiliki makna yang sama. Akan tetapi, apabila diungkapkan dengan nada yang berbeda, maka kedua kalimat tersebut mempunyai makna yang berbeda. Kalimat (1) bernada informatif (memberi informasi), sedangkan kalimat (2) bernada introgatif (bertanya). Secara semantik, keduanya memiliki makna yang berbeda karena perbedaan nada.
Dengan demikian, bunyi suatu ujaran (nada) mempengaruhi makna. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila Umar (1982) menyatakan bahwa tanghim (nada suara) dan nabr (tekanan suara) termasuk kalimat (jumlah).


Contoh A.2
(1) غفر الله ذنوبنا
(2) استغفرنا الله
(3) جلس علي على الكرسي
(4) أجلس علي الطفل على الكرسي
            Kata yang digarisbawahi pada kalimat (1) dan pada kalimat (2) berasal dari akar kata yang sama, yaitu غ - ف - ر . Akan tetapi, setelah mengalami proses morfologis, maka keduanya memiliki makna yang berbeda. Kata pada kalimat (1) berarti mengampuni (Tuhan mengampuni dosa-dosa kita), sementara itu kata pada kalimat (2) berarti ‘meminta ampun’ (lith- thalab). Dengan demikian huruf tambahan (afiksasi) berupa ا- س - تpada awal kata mempunyai arti, sehingga kalimat (2) di atas berarti Kami (telah) meminta ampun kepada Allah. Hal yang sama juga terjadi pada kata yang digarisbawahi dalam kalimat (3) dan (4). Keduanya berasal dari akar kata yang sama (ج-ل-س).

            Akan tetapi, karena mengalami proses morfologis, maka kedua kata tersebut memiliki makna yang berda. Kata yang digarisbawahi pada kalimat (3) merupakan verba intransitif (fi’l lazim), sementara itu, pada kalimat (4) disebut verba transitif (fi’l mutta’addi). Dengan demikian, kalimat (3) berarti ‘Ali duduk di atas kursi’, sedangkan kalimat (4) berarti ‘Ali mendudukkan anak kecil di atas kursi. Dari contoh A2 (1), (2), (3) dan (4) di atas dapat disimpulkan, bahwa makna dipengaruhi oleh hasil proses morfologis.

Contoh A3
(1) الثعلب السريع البني كاد يقتنص الأرنب.
(2) الثعلب البني الذي كاد يقتنص الأرنب كان سريعا.
(3) الثعلب السريع الذي كاد يقتنص الأرنب كان بنيا.
            Kalimat (1), (2), dan (3) pada contoh A3 di atas pada dasarnya memiliki pesan yang sama. Substansi yang dibicarakan berkisar tentang serigala yang hampir menangkap kelinci. Akan tetapi, karena kata-kata tertentu urutannya tidak sama, maka pengutamaan pesan yang dikandung oleh ketiganya berbeda (Umar, 1982). Pesan kalimat (1) pada contoh A3 lebih menekankan pada serigala yang cepat dan berwarna coklat (kecepatan berlari dan warna serigala), pesan kalimat (2) pada contoh A3 lebih menekankan identitas warna serigala (coklat), sedangkan pesan kalimat (3) lebih menekankan pada kecepatan lari serigala.
Sebagai pembanding dari contoh A.3, perhatikan contoh A.4 berikut ini.
Contoh A 4.

1. Orang tua itu putus asa dan bunuh diri.
2. Pemudah itu bekerja keras dan berhasil.
3. Orang tua itu bunuh diri karena dia putus asa.
4. Pemuda itu berhasil karena bekerja keras.

            Kalimat (1) (3) dan (2) (4) pada contoh A4 pada dasarnya mempunyai pesan yang kurang lebih sama, yaitu hubungan sebab akibat (dua kluasa). Perbedaannya pada pengutamaan pesan yang dikandung oleh setiap klausa. Pesan yang ditekankan pada (1) adalah keputusasaan orang tua (klausa pertama sebagai klausa primer) yang merupakan sebab, sementara itu klausa “bunuh diri” sebagai klausa kedua (skunder) merupakan akibat. Dengan demikian, pesan yang ditekankan adalah sebab, bukan akibat. Sebaliknya, pesan yang ditekankan pada kalimat (3) adalah akibat, yakni bunuh diri, sedangkan klausa sebab merupakan klausa skunder. Hal yang sama juga terjadi pada kalimat (2) dan (4). Dengan demikian, urutan kata dalam suatu struktur kalimat mempengaruhi makna.
Semantik sebagai studi makna bukan saja berkaitan dengan cabang linguistik lainnya (fonologi, morfologi, dan sintaksis), tetapi juga berhubungan dengan disiplin ilmu lainnya. Disiplin ilmu yang dimaksud misalnya antropologi, sosiologi, psikologi, dan filsafat. Antropologi berkepentingan di bidang semantik, antara lain karena analisis makna di dalam bahasa dapat menyajikan klasifikasi budaya pemakai bahasa secara praktis. Sosiologi memiliki kepentingan dengan semantik, karena ungkapan atau ekspresi tertentu menandai kelompok sosial atau identitas sosial tertentu. Psikologi berhubungan erat dengan semantik, karena psikologi memanfaatkan gejala kejiwaan yang ditampilkan manusia secara verbal atau nonverbal. Sementara itu, filsafat berhubungan erat dengan semantik karena persoalan makna tertentu dapat dijelaskan secara filosofis, misalnya makna ungkapan dan peribahasa (Djajasudarma, 1999).

Hubungan antara semantik dengan studi lainnya dapat ditampilkan pada diagram

D.    Perbedaan Antara Semantik, Leksikologi, Dan Leksikografi
Antara Leksikologi dan Leksikografi - Leksikologi (Ilm Al-Ma'ajim), menurut Dr. Ali Al-Qasimy adalah: 

"Leksikologi atau ilmu kosakata adalah ilmu yang membahas tentang kosakata dan maknanya dalam sebuah bahasa atau beberapa bahasa. Ilmu ini memperioritaskan kajiannya dalam hal derivasi kata, struktur kata, makna kosakata, idiom-idiom, sinonim dan polisemi."[7]


Dengan pengertian di atas, berarti Ali Al-Qasimy tidak membedakan antara istilah ilmu leksikologi (Ilm Al-M'ajim) dan ilmu kosakata (Ilm Al-Mufradat). Menurutnya, kajian kedua bidang studi tersebut adalah sama. Dengan kata lain, ilmu leksikologi merupakan perluasan dari ilmu mufradat yang bertujuan untuk menganalisis kosakata, memahami dan menafsirkan makna kata hingga ke tahap merumuskan makna kosakata yang baru dan fushah dan layak dimasukkan ke dalam kamus. Makna sebuah kata yang telah tercantum dalam kamus disebut dengan 'makna leksikon'.

Sedangkan Leksikografi (Dirasah Mu'jamiyah) adalah pengetahuan dan seni menyusun kamus-kamus bahasa dengan menggunakan sistematika tertentu untuk menghasilkan produk kamus yang berkualitas, mudah dan lengkap.

Antara leksikologi dan leksikografi tidak bisa dipisahkan. Leksikologi tanpa leksikografi, tidak akan menghasilkan sebuah produk kamus yang baik, benar dan mudah dimanfaatkan oleh para pengguna bahasa. Sebaliknya, leksikografi tanpa leksikologim juga hanya dapat melahirkan kamus-kamus yang tidak sempurna dalam mengungkap makna kosakata. Akan tetapi, ilmu leksikografi sebagai bagian dari linguistik terapan, lebih memerlukan hasil-hasil kajian atau penelitian dari ilmu leksikologi dalam upaya mewujudkan kamus yang baik, benar, lengkap dan memudahkan pembaca. Karena itu, istilah 'ilmu leksikologi' lebih umum daripada 'ilmu leksikografi'. Menyebut 'leksikologi' berarti berhubungan dan mencakup 'leksikografi'.
Munculnya pembedaan antara leksikologi dan leksikografi, tidak lepas dari pandangan para pakar linguistik yang telah membagi ilmu linguistik menjadi dua bagian, yaitu ilmu linguistik murni dan ilmu linnguistik terapan. Adanya pembagian ilmu linguistik ini, Jelas berpengaruh dalam memisahkan antara leksikologi dan leksikografi.
Menurut Hilmy Khalil, Leksikologi adalah Ilm Al-Ma'ajim Al-Nadzari, yaitu kajian teoritis tentang makna leksikal dalam sebuah kamus yang bahassannya meliputi: karakteristik kosakata, komponennya, perkembangan maknanya dan lain sebagainya. Karena itu, leksikologi terkadang juga digolongkan sebagai bagian dari ilmu semantik (Ilm Al-Dilalah) karena memang topok kajian dari kedua bidang studi tersebut hampir sama. Hanya saja, cakupan leksikologi lebih terbatas pada perwajahan kamus dan hal-hal yang berhubungan dengan isi kandungan kamus. 
Sedangkan leksikografi (Ilm Al-Shina;ah Al-Mu'jamiyah) adalah bagian dari linguistik terapan (Ilm Al-Mughah Al-Tathbiqy) yang membahas tentang seni dan teknik menyusun kamus, pemilihan kata serapan (dakhil), penentian definisi kata, bahasan tentang kelengkapan komponen kamus, dan informasi lain yang fungsinya memberi pemahaman yang benar dan udah tentang makna kosakata kepada pengguna kamus, seperti pemakaian gambar, peta, tabel, contoh penggunaan kata dalam kalimat dan sebagainya, sehingga perwajahan (performance) kamus menjadi lengkap dan sempurna.
Secara teknis, Ali Al-Qasimy menjelaskan, bahwa leksikografi adalah ilmu yang membahas tentang lima langkah utama dalam menyusun sebuah kamus, yaitu:
1.      Mengumpulkan data (kosakata)
2.      Memilih pendekatan dan metode penyusunan kamus yang akan ditempuh
3.      Menyusun kata sesuai dengan sistematika tertentu
4.      Menulis materi, dan
5.      Mempublikasikan hasil kodifikasi bahasa atau kamus tersebut
Dengan demikian, baik ilmu leksikologi maupun ilmu leksikografi, keduanya adalah bagian dari ilmu linguistik. leksikologi, sebagai studi pengembangan dari ilmu semantik, menjadi bagian dari ilmu linguistik teoritis (Ilm Al-Lughah Al-Nadzary). Sedangkan leksikografi, sebagai studi pengembangan dari leksikologi, menjadi bagian dari linguistik terapan (Ilm Al-Lughah Al-Tathbiqy).[8]



























DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Muhbib, Epistemologi dan metodologi pembelajaran bahasa arab, (Ciputat, Jakarta Selatan : UIN Jakarta Press, 2008)

Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, (Yogyakarta: UIN Malang Perss, 2008).
Chaer, Abdul, Linguistik Umum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003)





[1] Abdul Wahab, Muhbib, Epistemologi dan metodologi pembelajaran bahasa arab, (Ciputat, Jakarta Selatan : UIN Jakarta Press, 2008)
[3] Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, (Yogyakarta: UIN Malang Perss, 2008).
[4] Chaer, Abdul, Linguistik Umum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003)
[5] Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, (Yogyakarta: UIN Malang Perss, 2008).
[6] Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, (Yogyakarta: UIN Malang Perss, 2008).

4 komentar:

  1. Bismillaah

    Jazaakallaahu khairaa atas pembahasannya.

    Bolehkah ana repost di blog ana? (Raihandary.wordpress.com)

    BalasHapus
  2. Sports toto Bet in NJ | DraftKings, FanDuel and DraftKings
    Find out how to bet on sports in NJ. Sportsbooks in NJ allow you to bet on sports 토토사이트 while you're away.

    BalasHapus
  3. kak diatas yang gambar timbangan, kabah dll itu maksutnya gambar apa ya kak?
    terimakasih kak

    BalasHapus