NAMA :
RIZAL ADAMANI RAHMATULLAH
KELAS :
PBA-B
NIM :
1608102044
MATA KULIAH :MADKHAL
ILMI AD-DALALAH WAL-MA’AJIM
A.
Definisi Ilm Ad-Dalalah Wa-Al-Ma’ajim
Istilah ‘ilm al-dilalah atau semantik dalam bahasa Indonesia dan
semantics dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Yunani sema (nomina) yang berarti
tanda atau lambang atau semanio (verba) yang berarti menandai, berarti, atau
melambangkan. Dalam sumber lain, disebutkan, kata semantik itu berasal dari
bahasa Yunani, semantike, bentuk muannats dari semantikos, yang berarti
menunjukkan, memaknai, atau to signify. Kridalaksana (1993: 193 194) dalam
kamus linguistik memberikan pengertian ilmu semantik, (1) Bagian struktur bahasa
yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna wicara. (2)
sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa dan bahasa pada
umumnya. Semantik merupakan salah satu bagian dari tata bahasa yang meliputi fonologi,
tata bahasa, dan semantik. Semantik diartikan sebagai ilmu bahasa yang
mempelajari makna. Dalam bahasa Arab, ‘ilm- ad-dilalah terdiri atas dua
kata: ‘ilm yang berarti ilmu pemgetahuan, dan al-dilalah, yang berarti
penunjukkan atau makna. Jadi, ‘ilm al-dilalah menurut bahasa adalah ilmu
pengetahuan tentang makna.[1]
Secara terminologis, ‘ilm- ad-dilalah sebagai salah satu cabang
linguistik (‘ilm-al lughoh) yang telah berdiri sendiri adalah ilmu yang
mempelajari tentang makna suatu bahasa, baik pada tataran mufrodat (kosa-kata)
maupun pada tataran tarokib (struktur). Ahmad Mukhtar ‘Umar mendefinisikan ‘ilm
ad-dilalah sebagai berikut :
دراسة المعنى أو العلم الذي يدرس المعنى أو ذلك الفرع من علم اللغة الذي يتناول نظرية المعنى أو ذلك الفرع الذي يدرس الشروط الواجب توافرها فى الرمز حتى يكون قادرا على حمل المعنى.
“ Kajian tentang makna, atau ilmu yang membahas tentang makna, atau
cabang linguistik yang mengkaji teori makna, atau cabang linguistik yang
mengkaji syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengungkap lambang-lambang
bunyi sehingga mempunyai makna.”[2]
B.
Objek Kajian Ilm ad-Dilalah Wa-Al-Ma’ajim
Pada uraian sebelumnya dikemukakan, bahwa semantik merupakan salah
satu cabang linguistik yang mengkaji makna atau arti dalam bahasa dan secara
etiomologis berarti “menandai” atau “melambangkan”. Pertanyaan yang mengemuka
adalah lambang apakah yang menjadi objek kajian semantik? Dapatkah rambu-rambu
lalu lintas yang juga merupakan lambang bermakna (simbol bermakna) termasuk
wilayah kajian semantik atau dapatkah gambar berikut ini yang juga merupakan
lambang atau simbol bermakna juga menjadi objek kajian linguistik.
Keempat gambar di atas merupakan simbol/lambang yang memiliki
makna. Gambar 1 adalah gambar timbangan yang antara bandul satu dengan yang
lain simetris (seimbang). Gambar 1 tersebut dapat dijumpai di lembaga peradilan
dan merupakan suatu simbol yang memiliki makna. Makna yang dimaksud oleh gambar
tersebut adalah kewajiban lembaga peradilan untuk menegakkan keadilan tanpa ada
diskriminasi. Menuru gambar 1 tersebut, setiap anak bangsa mempunyai kedudukan
yang sama di muka hukum. Pemberlakuan hukum harus seimbang (adil) atau tidak
boleh berat sebelah sebagaimana yang dilambangkan oleh kesimetrisan kedua
bandul pada timbangan tersebut. Dengan demikian, gambar 1 di atas merupakan
suatu lambang atau simbol yang bermakna keadilan.
Gambar 2 adalah gambar ka’bah. Ia merupakan lambang spiritual
keagamaan umat Islam. Ke arah ka’bahlah umat Islam harus menghadap pada saat
melaksanakan shalat. Di samping sebagai kiblat umat Islam, Ka’bah juga
melambangkan identitas keagamaan seseorang. Apabila di rumah seseorang dijumpai
gambar ka’bah, maka dapat diasumsikan, bahwa pemilik rumah tersebut bergama
Islam. Gambar 3 di atas juga merupakan suatu lambang spiritual sebagaimana
ka’bah. Perbedaannya adalah bahwa gambar 3 ini berkaitan dengan tempat
peribadatan kaum Nasrani.
Sement ara itu, gambar 4 merupakan lambang “cinta”. Apabila seorang pemuda/remaja memberikan lambang ini kepada seorang “cewek”, maka makna yang dapat ditangkap adalah bahwa si pemuda/remaja tersebut mengungkapkan rasa cintanya melalui bahasa gambar 4. Dengan demikian, pengungkapan rasa cinta kepada orang lain (lawan jenis), tidak harus dengan simbol-simbol kebahasaan, tetapi dapat dilakukan dengan memberikan simbol berupa gambar.
Memang semantik mengkaji makna dari suatu lambang atau simbol,
tetapi lambang atau simbol yang menjadi kajian semantik hanyalah lambang bahasa
atau simbol-simbol yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal
(Umar, 1982 dan Chaer, 2002). Objek semantik adalah telaah tentang makna—yang
mencakup lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna
yang satu dengan yang lainnya serta pengaruh makna terhadap manusia dan
masyarakat pemakai bahasa, Mempelajari seluk beluk makna juga berarti
mempelajari bagaimana setiap pemakai bahasa saling mengerti (Nikelas, 1988).
Pendapat yang sama
juga dikemukakan oleh Djajasudarma (1999), bahwa objek semantik adalah makna,
dan makna dapat dianalisis melalui struktur dalam pemahaman tataran bahasa
(fonologi, morfologi, sintaksis). Sementara itu, ilmu yang mengkaji tentang
simbol-simbol yang lebih luas (kebahasaan dan non-kebahasaan) disebut dengan
semiotika atau ‘ilmu ar-rumuz (Umar, 1982).
Dengan demikian, tanda atau lambag sebagaimana pada gambar 1 s.d. gambar 4 tidak menjadi objek kajian semantik, meskipun gambar tersebut memiliki makna. Demikian pula rambu-rambu lalu lintas di jalan raya yang memiliki makna juga bukan merupakan objek kajian semantik.[3]
Adapun ruang lingkup kajian ‘ilm al-dalalah berkisar pada:
1.
al-dal
(penunjuk, pemakna) lafadz dan al-madlul (yang ditunjuk, dimaknai, makna) serta
hubungan simbolik diantara keduanya. Lafadz dalam bahasa arab dapat
dikategorikan dalam 4 macam :
a.
Monosemi
(al-tabayyun) yaitu, satu lafadz menunjukkan satu makna.
b.
Hiponimi
(al-isytimal) yaitu, satu lafadz yang menunjukkan makna umum yang mencangkup
beberapa arti yang menjadi turunanya. Dalam pengertian lain disebutkan,
hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya
tercangkup dalam makna bentuk ujaran lain.
c.
Sinonimi
(al-taroduf) yaitu, beberapa lafadz yang menunjukkan satu makna meskipun tidak
sama persis. Dalam pengertian lain disebutkan pula, sinonimi adalah hubungan semantik
yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan
ujaran lain.
d.
Polisemi
(ta’addud al-makna) yaitu, satu lafadz yang mengandung lebih dari satu makna;
jika dua makna itu tidak saling berlawanan, maka disebut al-musytarok al lafdzi
dan jika saling berlawanan, maka disebut al-tadhadh (antonimi).
2.
Perkembangan
makna, sebab dan kaedahnya, dan hubungan kontekstual dan situasional dalam
kehidupan, ilmu dan seni. Perubahan makna kata disebabkan oleh;
a.
Faktor
kebahasaan
b.
Faktor
kesejarahan
c.
Sebab
Sosial
d.
Faktor
psikologis
e.
Pengaruh
bahasa asing
f.
Karena
kebutuhan akan kata-kata baru.
3.
Majaz
(kiasan) berikut aplikasi semantik dan hubungan stilisiknya Majaz dibedakan
dari gaya. Arti majazi diperoleh jika denotasi kata atau ungkapan dialihkan dan
mencangkupi juga denotasi lain bersamaan dengan tautan pikiran lain. Adapun
tujuan pokok dalam penelitian semantik adalah agar pendegar memahami dengan
baik makna yang dimaksud dari perkataan/pembicaraan lawan bicara atau
ungkapan-ungkapan yang dibacanya. Dan juga untuk menghindari pengguna bahasa
arab dari kesalahan semantik menyangkut pemilihan dan penggunaan kosa-kata yang
tepat sesuai dengan struktur dan konteks kalimat. Termasuk juga kesalahan
penggunaan istilah dan idiom dan ungkapan kinayah, isti’arah dan majaz. [4]
C.
Hubungan Semantik, Fonologi, Morfologi, Dan Sintaksis
Dalam kajian linguistik, kita mengenal apa yang disebut dengan
fonologi (ilmu al-ashwat), morfologi (ash-sharf), dan sintaksis (an-nahwu).
Fonologi merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang bertugas mempelajari
fungsi bunyi untuk membedakan dan mengidentifikasi kata-kata tertentu (Al-Wasilah,
1985). Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari pembentukan kata
(Yule, 1985). Sementara itu, sintaksis adalah cabang ilmu bahasa yang
mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda bahasa (Levinson, 1992), yakni
hubungan antara kata/frasa yang satu dengan lainnya dalam suatu kalimat.[5]
Semantik sebagai cabang ilmu bahasa memiliki hubungan yang erat dengan ketiga cabang ilmu bahasa di atas (fonologi, morfologi, dan sintaksis). Ini berarti, bahwa makna suatu kata atau kalimat ditentukan oleh unsur bunyi (tekanan suara dan atau nada suara atau yang lebih umum adalah suprasegmental), bentukan kata (perubahan bentuk kata), maupun susunan kata dalam kalimat. Dengan demikian, tidak mungkin semantik dipisahkan dari cabang linguistik lainnya atau sebaliknya (Umar, 1982).Perhatikan contoh berikut ini.
Contoh A. 1
(1) انت تكنس البلاط.
(2) انت تكنس البلاط؟
Apabila kalimat (1) dan (2) pada A.1 tersebut diungkapkan secara lisan dengan nada yang sama (nada datar), maka keduanya memiliki makna yang sama. Akan tetapi, apabila diungkapkan dengan nada yang berbeda, maka kedua kalimat tersebut mempunyai makna yang berbeda. Kalimat (1) bernada informatif (memberi informasi), sedangkan kalimat (2) bernada introgatif (bertanya). Secara semantik, keduanya memiliki makna yang berbeda karena perbedaan nada.
Dengan demikian, bunyi suatu ujaran (nada) mempengaruhi makna. Oleh
karena itu, cukup beralasan apabila Umar (1982) menyatakan bahwa tanghim (nada
suara) dan nabr (tekanan suara) termasuk kalimat (jumlah).
Contoh A.2
(1) غفر الله ذنوبنا
(2) استغفرنا الله
(3) جلس علي على الكرسي
(4) أجلس علي الطفل على الكرسي
Kata yang
digarisbawahi pada kalimat (1) dan pada kalimat (2) berasal dari akar kata yang
sama, yaitu غ - ف - ر . Akan tetapi,
setelah mengalami proses morfologis, maka keduanya memiliki makna yang berbeda.
Kata pada kalimat (1) berarti mengampuni (Tuhan mengampuni dosa-dosa kita),
sementara itu kata pada kalimat (2) berarti ‘meminta ampun’ (lith- thalab).
Dengan demikian huruf tambahan (afiksasi) berupa ا- س
- تpada awal kata mempunyai arti, sehingga kalimat (2) di atas berarti
Kami (telah) meminta ampun kepada Allah. Hal yang sama juga terjadi pada kata
yang digarisbawahi dalam kalimat (3) dan (4). Keduanya berasal dari akar kata
yang sama (ج-ل-س).
Akan tetapi, karena mengalami proses morfologis, maka kedua kata tersebut memiliki makna yang berda. Kata yang digarisbawahi pada kalimat (3) merupakan verba intransitif (fi’l lazim), sementara itu, pada kalimat (4) disebut verba transitif (fi’l mutta’addi). Dengan demikian, kalimat (3) berarti ‘Ali duduk di atas kursi’, sedangkan kalimat (4) berarti ‘Ali mendudukkan anak kecil di atas kursi. Dari contoh A2 (1), (2), (3) dan (4) di atas dapat disimpulkan, bahwa makna dipengaruhi oleh hasil proses morfologis.
Contoh A3
(1) الثعلب السريع البني كاد يقتنص الأرنب.
(2) الثعلب البني الذي كاد يقتنص الأرنب كان سريعا.
(3) الثعلب السريع الذي كاد يقتنص الأرنب كان بنيا.
Kalimat (1), (2),
dan (3) pada contoh A3 di atas pada dasarnya memiliki pesan yang sama.
Substansi yang dibicarakan berkisar tentang serigala yang hampir menangkap
kelinci. Akan tetapi, karena kata-kata tertentu urutannya tidak sama, maka
pengutamaan pesan yang dikandung oleh ketiganya berbeda (Umar, 1982). Pesan kalimat
(1) pada contoh A3 lebih menekankan pada serigala yang cepat dan berwarna
coklat (kecepatan berlari dan warna serigala), pesan kalimat (2) pada contoh A3
lebih menekankan identitas warna serigala (coklat), sedangkan pesan kalimat (3)
lebih menekankan pada kecepatan lari serigala.
Sebagai pembanding dari contoh A.3, perhatikan contoh A.4 berikut ini.
Contoh A 4.
Sebagai pembanding dari contoh A.3, perhatikan contoh A.4 berikut ini.
Contoh A 4.
1. Orang tua itu putus asa dan bunuh diri.
2. Pemudah itu bekerja keras dan berhasil.
3. Orang tua itu bunuh diri karena dia putus asa.
4. Pemuda itu berhasil karena bekerja keras.
Kalimat (1) (3) dan (2) (4) pada contoh A4 pada dasarnya mempunyai pesan yang kurang lebih sama, yaitu hubungan sebab akibat (dua kluasa). Perbedaannya pada pengutamaan pesan yang dikandung oleh setiap klausa. Pesan yang ditekankan pada (1) adalah keputusasaan orang tua (klausa pertama sebagai klausa primer) yang merupakan sebab, sementara itu klausa “bunuh diri” sebagai klausa kedua (skunder) merupakan akibat. Dengan demikian, pesan yang ditekankan adalah sebab, bukan akibat. Sebaliknya, pesan yang ditekankan pada kalimat (3) adalah akibat, yakni bunuh diri, sedangkan klausa sebab merupakan klausa skunder. Hal yang sama juga terjadi pada kalimat (2) dan (4). Dengan demikian, urutan kata dalam suatu struktur kalimat mempengaruhi makna.
Semantik sebagai studi makna bukan saja berkaitan dengan cabang
linguistik lainnya (fonologi, morfologi, dan sintaksis), tetapi juga
berhubungan dengan disiplin ilmu lainnya. Disiplin ilmu yang dimaksud misalnya
antropologi, sosiologi, psikologi, dan filsafat. Antropologi berkepentingan di
bidang semantik, antara lain karena analisis makna di dalam bahasa dapat
menyajikan klasifikasi budaya pemakai bahasa secara praktis. Sosiologi memiliki
kepentingan dengan semantik, karena ungkapan atau ekspresi tertentu menandai
kelompok sosial atau identitas sosial tertentu. Psikologi berhubungan erat
dengan semantik, karena psikologi memanfaatkan gejala kejiwaan yang ditampilkan
manusia secara verbal atau nonverbal. Sementara itu, filsafat berhubungan erat
dengan semantik karena persoalan makna tertentu dapat dijelaskan secara
filosofis, misalnya makna ungkapan dan peribahasa (Djajasudarma, 1999).
Hubungan antara semantik dengan studi lainnya dapat ditampilkan pada diagram
Hubungan antara semantik dengan studi lainnya dapat ditampilkan pada diagram
D.
Perbedaan Antara Semantik, Leksikologi, Dan Leksikografi
Antara
Leksikologi dan Leksikografi - Leksikologi (Ilm
Al-Ma'ajim),
menurut Dr. Ali Al-Qasimy adalah:
"Leksikologi atau ilmu kosakata adalah ilmu yang
membahas tentang kosakata dan maknanya dalam sebuah bahasa atau beberapa
bahasa. Ilmu ini memperioritaskan kajiannya dalam hal derivasi kata, struktur
kata, makna kosakata, idiom-idiom, sinonim dan polisemi."[7]
Dengan pengertian di atas, berarti Ali Al-Qasimy tidak
membedakan antara istilah ilmu leksikologi (Ilm Al-M'ajim) dan ilmu
kosakata (Ilm Al-Mufradat). Menurutnya, kajian kedua bidang studi
tersebut adalah sama. Dengan kata lain, ilmu
leksikologi merupakan
perluasan dari ilmu mufradat yang bertujuan untuk menganalisis kosakata,
memahami dan menafsirkan makna kata hingga ke tahap merumuskan makna kosakata
yang baru dan fushah dan layak dimasukkan ke dalam kamus. Makna sebuah kata
yang telah tercantum dalam kamus disebut dengan 'makna leksikon'.
Sedangkan Leksikografi (Dirasah
Mu'jamiyah) adalah pengetahuan dan seni menyusun kamus-kamus bahasa dengan
menggunakan sistematika tertentu untuk menghasilkan produk kamus yang
berkualitas, mudah dan lengkap.
Antara
leksikologi dan leksikografi tidak bisa dipisahkan. Leksikologi tanpa
leksikografi, tidak akan menghasilkan sebuah produk kamus yang baik, benar
dan mudah dimanfaatkan oleh para pengguna bahasa. Sebaliknya, leksikografi
tanpa leksikologim juga hanya dapat melahirkan kamus-kamus yang tidak sempurna
dalam mengungkap makna kosakata. Akan tetapi, ilmu leksikografi sebagai bagian
dari linguistik terapan, lebih memerlukan hasil-hasil kajian atau penelitian
dari ilmu leksikologi dalam upaya mewujudkan kamus yang baik, benar, lengkap
dan memudahkan pembaca. Karena itu, istilah 'ilmu leksikologi' lebih
umum daripada 'ilmu leksikografi'. Menyebut 'leksikologi' berarti
berhubungan dan mencakup 'leksikografi'.
Munculnya pembedaan antara leksikologi dan
leksikografi, tidak lepas dari pandangan para pakar
linguistik yang telah membagi ilmu linguistik menjadi dua bagian, yaitu ilmu
linguistik murni dan ilmu linnguistik terapan. Adanya pembagian ilmu linguistik
ini, Jelas berpengaruh dalam memisahkan antara leksikologi dan leksikografi.
Menurut Hilmy Khalil, Leksikologi adalah Ilm Al-Ma'ajim Al-Nadzari, yaitu kajian teoritis tentang makna leksikal dalam sebuah kamus yang
bahassannya meliputi: karakteristik kosakata, komponennya, perkembangan
maknanya dan lain sebagainya. Karena itu, leksikologi terkadang juga
digolongkan sebagai bagian dari ilmu semantik (Ilm Al-Dilalah) karena
memang topok kajian dari kedua bidang studi tersebut hampir sama. Hanya saja,
cakupan leksikologi lebih terbatas pada perwajahan kamus dan hal-hal yang
berhubungan dengan isi kandungan kamus.
Sedangkan leksikografi (Ilm
Al-Shina;ah Al-Mu'jamiyah) adalah bagian dari linguistik terapan (Ilm
Al-Mughah Al-Tathbiqy) yang membahas tentang seni dan teknik menyusun
kamus, pemilihan kata serapan (dakhil), penentian definisi kata, bahasan
tentang kelengkapan komponen kamus, dan informasi lain yang fungsinya memberi
pemahaman yang benar dan udah tentang makna kosakata kepada pengguna kamus,
seperti pemakaian gambar, peta, tabel, contoh penggunaan kata dalam kalimat dan
sebagainya, sehingga perwajahan (performance) kamus menjadi lengkap dan
sempurna.
Secara teknis, Ali Al-Qasimy menjelaskan, bahwa leksikografi adalah
ilmu yang membahas tentang lima langkah utama dalam menyusun sebuah kamus,
yaitu:
1. Mengumpulkan data (kosakata)
2. Memilih pendekatan dan metode penyusunan kamus yang
akan ditempuh
3. Menyusun kata sesuai dengan sistematika tertentu
4. Menulis materi, dan
5. Mempublikasikan hasil kodifikasi bahasa atau kamus
tersebut
Dengan demikian, baik ilmu leksikologi maupun ilmu
leksikografi, keduanya adalah bagian dari ilmu linguistik.
leksikologi, sebagai studi pengembangan dari ilmu semantik, menjadi bagian dari
ilmu linguistik teoritis (Ilm Al-Lughah Al-Nadzary). Sedangkan
leksikografi, sebagai studi pengembangan dari leksikologi, menjadi bagian dari
linguistik terapan (Ilm Al-Lughah Al-Tathbiqy).[8]
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Muhbib, Epistemologi
dan metodologi pembelajaran bahasa arab, (Ciputat, Jakarta Selatan : UIN
Jakarta Press, 2008)
Taufiqurrochman,
Leksikologi Bahasa Arab, (Yogyakarta: UIN Malang Perss, 2008).
Chaer, Abdul, Linguistik
Umum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003)
[1] Abdul
Wahab, Muhbib, Epistemologi dan metodologi pembelajaran bahasa arab, (Ciputat,
Jakarta Selatan : UIN Jakarta Press, 2008)
[3]
Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, (Yogyakarta: UIN Malang Perss,
2008).
[4] Chaer,
Abdul, Linguistik Umum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003)
[5]
Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, (Yogyakarta: UIN Malang Perss,
2008).
[6]
Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, (Yogyakarta: UIN Malang Perss,
2008).
Bismillaah
BalasHapusJazaakallaahu khairaa atas pembahasannya.
Bolehkah ana repost di blog ana? (Raihandary.wordpress.com)
Sama2, silahkan
BalasHapusSports toto Bet in NJ | DraftKings, FanDuel and DraftKings
BalasHapusFind out how to bet on sports in NJ. Sportsbooks in NJ allow you to bet on sports 토토사이트 while you're away.
kak diatas yang gambar timbangan, kabah dll itu maksutnya gambar apa ya kak?
BalasHapusterimakasih kak