Nama : Rizal Adamani Rahmatullah
NIM
:1608102044
Klas/semester :PBA B/ 4
Mata kuliah :Madkhal Ilmi Ad-Dilalah Wa Al-Ma’ajim
Referensi :
Moh. Aini dan imam Asrori,
Semantik Bahasa Arab, Surabaya: Dikti, 2008.
Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Arab,yogyakarta:UIN
Malang press, 2008.
Makna, Simbol, Dan Acuan
A.
Makna
a.
Pengertian makna
Secara etimologi, kata ma’na berasal dari عني yang salah satu maknanya ialah melahirkan.karena itu,
makna diartikan sebagai perkara yang dilahirkan dari tuturan. Perkara tersebut
ada didalam benak manusia sebelum diungkapkan dalam sarana bahasa. Sarana ini
berubah-ubah sesuai dengan perubahan makna tersebut didalam benak. Perkara yang
terdapat didalam benak disimpulkan sebagai hasil pengalaman yang diolah akal
secara tepat.
Hubungan antara lafal/bahasa (intra-lingual) dengan sesuatu yang
ada diluar bahasa (ekstra-lingual) dikenal dengan teori ‘semantic tringle’
(mutsallats al-ma’na), yaitu segitiga bermakna yang menghubungkan antara 3
aspek dasar, yakni:
1)
Simbol/kata/signifiant/penanda
(Dal/Alamah) yang terdiri dari bunyi bahasa, tulisan, isyarat dan
sebagainya, seperti: kata kitab (buku).
2)
Konsep/benak/pikiran/mind
(syu’ur/ fikiran) yang ada dalam fikiran manuia ketika memahami
simbol/kata.
3)
Acuan/benda/sesuatu/referen/signify/pertanda
(madlul/musyar ilaihi) yang ditunjuk dari simbol/ kata tersebut.
Dalam bahasan
semiotika, tanda(sign)terdiri dari dua unsur yang tidak bisa dilepaskan,
yaitu penanda (signifiant) dan petanda (signifi). Penanda adalah
aspek materal dari bahasa, sedangkan petanda adalah makna(konsep) yang ada
dalam pikiran (mind).
Tidak semua
kata/simbol memiliki acuan/benda. Misalnya kata ;walaupun’, ‘aduh’, sekalipun
bermakna tetapi tidak menunjukan sesuatu, tidak ada referennya. Berbeda dengan
kata ‘pensil’ yang memiliki referen sebab dia menunjuk pada sesuatu (sebuah
benda yang terbuat dari kayu dan biasa digunakan untuk menulis). Apabila
kata/simbol dalam realita memiliki acuan dan melahirkan makna, maka makna itu
disebut dengan makna refersensial. Makna refersensial (al-ma’na al-marj’i)
adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referent
(acuan), makna kognitif (al-ma’na al-athifi), makna afektif (al-ma’na
al-wujdani), dan makna emotif (al-ma’na al-athifi).
Dalam hubungannya
dengan ilmu leksikologi, kajian tentang makna sebagai hasil hubungan antara
simbol/kata dan benda/acuan, sangat penting untuk dipahami sebagai pengantar. Mengingat
bahwa kamus, sebagai produk dari leksikologi, harus mampu menjelaskan makna
yang dihasilkan dari berbagai simbol/kosakata bahasa, baik kitayang memiliki
makna referensial maupun non-referensial. Sebuah kamus dinilai lengkap, apabila
semua benda/acuan/petanda yang dibutuhkan para penutur bahasa, dapat diketahui
melalui pemaparan makna leksikal di dalam kamus.
b.
Klasifikasi makna
1)
Makna leksikal dan makna gramatikal
Makna
leksikal dapat diartikan sebagai makna dasar yang terdapat pada setiap kata
atau leksikon, atau kalimah. Maksudnya, makna leksikal adalah makna yang
sesuai dengan acuan atau referennya. Seodijto (1986) menjelaskan bahwa makna
leksikal ialah makna kata secara lepas, tanpa kaitannya dengan kata yang lain
dalam sebuah konstruksi.contoh:
-
أسر ‘bagian tubuh/anggota
badan paling atas atau paling depan’
- طعام‘segala
sesuatu yang dapat dan boleh dimakan, misalkan nasi dan roti.
- كراسة‘lembaran-lembaran
kertas yang dijilid dimanfaatkan oleh murid atau mahasiswa untuk mencatat
pelajaran.
Berbalikan
dengan makna leksikal yang tidak memerlukan kehadiran konteks, makna gramatikal
justru mewajibkan kehadiran konteks. Dalam kitab an-nahwul wadih
(al-jarim dan amin, tanpa tahun) bahwa kata tugas (huruf)maknanya tidak
tampak sempurna kecuali berada dalam lingkungan kata lainnya. Contoh:
عاد
أبي من مكة -
محمد
أكبر من أخيه الأكبر -
جاء
التلميذ و صاحبه -
و العصر إن الإنسان لفي خسر -
2)
Makna referensial dan makna non-referensial
Makna
referensial dan makna non-referensial (المعني الامدلول
dibedakan berdasarkan ada-tidaknya referen atau acuan pada kata. Jika suatu
kata mempunyai referen atau acuan (sesuatu diluar bahasa yang diacu), maka kata
tersebut mempunyai makna referensial المدلول المعني).
Kata-kata yang termasuk kategori kata penuh (content word) pada dasarnya
mempunyai makna referensial.
Maka
referensial dikontraskan dengan makna non-referensial. Kata yang termasuk kata
tugas (huruf) selain tidak mempunyai makna leksikal juga tidak mempunyai makna
referensial.dalam hal kata yang mempunyai referen, terdapat sejumlah kata yang
referennya berubah-ubah atau berpindah-pindah. Kata yang acuannya diganti-ganti
disebut deiksis. Termasuk kategori kata yang referensinya berpindah atau
berubah antara lain adalah kata ganti(dhamir), keterangan tempat dan keterangan
waktu (dzaraf).
3)
Makna donatif dab makna konotatif
Makna
denotatif dan kebalikannya makna konotatif dibedakan berdasarkan ada tidaknya
nilai rasa pada sebuah kata. Setiap kata penuh mempunyai makna denotatif,
tetapi tidak semuanya mempunyai makna konotatif. Makna denotatif adalah makna
dasar atau makna asli yang dimiliki oleh sebuah kata. Hal itu berarti bahwa
makna denotatif mengacu pada acuan yang sebenarnya atau sesuai dengan acuannya.
Contoh:
أحمر - ‘warna menyerupai darah’
مات - ‘terlepasnya nyawa/ ruh
dari tubuh’
Adapun
makna konotatif (idhafi atau tambahan) adalah makna tabahan terhadap makna
dasarnya berupa nilai, rasa, atau gambaran tertentu.contoh:
أحمر =(makna denotatif)
warna, (makana konotatif) berani
حرير =(makna denotatif)
binatang, (makna konotatif) najis/haram
وردة =(makana denotatif)
bunga, (makana konotatif) indah, cantik, harum
طائر =(makna
denotatif)kendaraan), (makana konotatif) cepat, mahal
4)
Makna kata dan makna istilah
Berdasarkan
kemuman dan kekhususan bidang penggunaannya, terdapat makna kata (umum) dan
makna istilah (khusus). Penggunaan secara umum maksudnya tidak dibatasi pada
bidang tertentu. Sebaliknya pemakaian secara khusus adalah penggunaan kata
dalam bidang tertentu.
Dalam
penggunaan secara umum, makna kata عامل
bersifat umum dan tidak spesifik. Kata misalnya dalam penggunaan secara umum
mempunyai makna ‘yang melakukan/membuat sesuatu kegiatan, pekerja, atau aspek,
unsur, dan faktor tertentu’.misalnya:
أنا أشرب القهوة,و أنا عامل هذه القهوة -
"غاتوت" عامل في مصنع الأحذية -
الجهد عامل من عوامل النجاح –
Dalam
penggunaan secara khusus atau dalam bidang tertentu, عامل
kata mempunyai arti yang jelas dan
spesifik, meskipun meskipun tidak dimaksukan dalam kalimat. Dalam ilmu nahwu
misalnya, kataعامل bermakna ‘suatu unsur tunggal yang menyebabkan
kondisi i’rab tertentu’. Adapun dalam bidang zakat, bermakna ‘orang yang
mengurusi zakat’. Pedeta (2001) menyebutkan makna istilah dengan makna khusus.
5)
Makna konseftual dan makna asosiatif
Didasarkan
ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan
makna kata lain, makna dibedakan menjadi makna konseptual dan makna asosiatif
(chaer, 2002). Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan
konsep-konsep/referennya dan tidak dikaitkan dengan asosiasi tertentu. Karena
itu makna konseptual pada prinsifnya sama dengan makna referensial, makna
leksikal, ataupun makna denotatif.
Berbalikan
dengan dengan makna konseptual, makna asosiatif adalah makna sebuah kata
dikaitkan, dihubungkan, diasosiasikan dengan hal-hal tertentu di liar bahasa.
Menurut Leech (dalam chare, 2002) makna asosiatif mencakup makna konotatif,
stilistika, afektif, refleksi, dan kolokatif. Kataنور ‘cahaya’ berasosiasi dengan kebenaran dan
petunjuk. Sebaliknya kataظلمات ‘kegelapan’ berasosiasi dengan kesesatan atau
kekufuran.
6)
Makna idiomatik dan makna pribahasa
Makna
idiomatis adalah makana satuan kebahasaan yang menyimpang dari makna
leksikalnya ataupun dari makna gramatikal unsur-unsur pembentunya. Termasuk
kategori idiom dalam bahasa arab adalah pasangan khas verba dengan huruf jar,
misalnyaفي رغب ‘senang’,من رغب
‘benci’. Contoh yang berupa frasa dapat dikemukakan,شرب
الشجارة misalnya tidaklah bermakana ‘meminum rokok ataupun melalui
mulut’, akan tetapi frasa tersebut mengandung arti ‘menghisap rokok atau
merokok يدخن . idiom
dapat dibedakan menjadi dua (pateda, 2001), yaitu idiom penuh, misaknya:بيت الخلاء . dan idiom sebagian, misalnya:أم القأن.
Pribahasa
adalah satuan kebahasaan yang digunakan sebagai perbandingan, tetapi maknanya
maknanya masih dapat dilacak dari makna leksikal da gramatikal unsur-unsur
pembentuknya. Sebagai contoh, satuan bagai air dan minyak, merupakan
satuan yang terdiri dari atas unsur air ‘benda cair sebangsa air minum dan
unsur minyak ‘benda cair yang mudah terbakar’. Didalam satuan tersebut,
kedua unsurnya tetap memiliki makna leksikalnya msasing-masing. Tetapi satuan
tersebut justru digunakan sebagai pembanding suatu hal diluar satuan itu
sendiri, yaitu keadaan dua hal yang tidak bisabbersatu atau bercampur. Dua hal
yang tidak bisa bersatu atau bercampur disamakan atau dibandingkan dengan air
dan minyak yang mempunyai sifat sulit bercampur antar keduanya.
7)
Makna kiasan
Makna
kiasan atau makna kias digunakan sebagai kelebihan dari makna sebenarnya
(chaer, 2002). Makna kias adalah makna suatu satuan bahasa yang yang bukan
makna sebenarnya (leksikal, konseptual, dan denotasi). Harimurti (dalam
peteda,2001) juga mengemukakan bahwa bahasa kiasan adalah pemakaian satuan yang
maknanya tidak sebenarnya.
Dalam
bahasa arab terdapat kataسفينة ‘kapal atau kendaraan laut’. Tetapi kalau
dikatakanسفينة الصحراء tentu tidak lagi bermakna kendaraan laut atau
kapal. Kata tersebut mempunyai makna kias ‘onta’. Dalam hal ini onta dipadang
pasir diperumpamakan atau disamakan dengan kapal dilaut.
B.
Simbol
a.
Pengertian simbol
Secara
etimologi, semiotics berasal dari bahasa Yunani ‘semeion’ yang diambil dari
kata ‘sema’ berarti ‘tanda’. Semiotika membahas tentang macam-macam tanda/simbol/isyarat
yang terdapat pada fenomena bahasa.
Pierce
membedakan ‘tanda’ menjadi 3 macam, yaitu:
1)
Iconic Sign (Al-Alamah Al-Iquniyah)
Yaitu,
tanda yang menjelaskan acuan/benda-nya melalui cara imitasi (muhakah)
seperti: gambar benda, lukisan, peta, patung, maket bangunan, dan sebagainya.
2)
Indexical Sign (Al-Isyariyiah)
Yaitu,
tanda yang menjelaskan acuan/bendanya melalui adanya hubungan yang lazim/biasa,
seperti: asap adalah tanda adanya api, suara mengeong adalah tanda adanya
kucing, jejak atau sidik jaritangan adalah tanda adanya pencuri, dan
sebagainya.
3)
Symbol (Al-ramz)
Yaitu,
tanda yang menjelaskan acuan/benda-nya melalui adanya makna istilah yang telah
disepakati manusia, seperti: rambu-rambu lalu lintas, simbol X berartiخطأ salah, simbol musik, suara bel, dan
sebagainya, termasuk juga kosakata bahasa, misalnya: شجرة (pohon), حصان (kuda), dan
lain sebagainya.
b.
Klasifikasi simbol
Demikian
banyak jumlah simbol yang ada, sehingga simbol perlu diklasifikasikan menurut beberapa
aspek, yaitu:
1)
Aspek
sengaja dan tidak sengaja (Al-Iradiyah/Al-Lairadiyah)
Ø Simbol fakultatif (Iradiyah), yaitu simbol-simbol yang sengaja muncul dari manusia. Simbol
fukultatif ada yang sifatnya sekedar bertujuan untuk menyampaikan
informasi/pesan. Misalnya, rambu-rambu lalu lintas, aba-aba dalam
baris-berbaris, bunyi bel sekolah, klakson mobil, dan lain sebagainya.
Ø Simbol non-fukultatif (La-Iradiyah), yaitu simbol-simbol yang muncul dari manusia secara tidak sengaja.
Ada simbol yang bersifat suara (shautiyah), seperti: batuk, bersin,
tangisan, dan lainnya. Ada simbol yang bersifat gerakan (harakiyah),
seperti: aliran darah, tetesan keringat di badan dan lain sebagainya. Ada pula
simbol yang bersifat bentuk (syakliyah), seperti: ‘wajah memerah’ adalah
simbol kemarahan, ‘uban/rambut putih’ adalah tanda bertambahnya usia seseorang,
dan sebagainya.
2)
Aspek
natural dan aspek buatan (Al-Thabi’iyah/Al-Shinaiyah)
Ø Simbol natural (Thabi’iyah) adalah simbol yang muncul secara alami. Simbol alami yang bersifat
suara (Shautiyah), seperti: suara lebah, kicau burung, dan sebagainya. Simbol
alami bersifat gerakan (harkiyah), seperti: pergerakan daun sebagai
tanda arah angin, gerak awan, dan sebagainya. Simbol alami yang bersifat bentuk
(syakliyah), seperti: bentuk bulan sebagai tanda perjalanan kalender, warna
buah sebagai tanda matang, dan sebagainya. Simbol alami yang bersifat aroma/bau
(raihiyah) seperti : aroma bunga, bau binatang, dan sebagainya. Simbol
alami yang bersifat rasa (dzauqiyah), srperti: rasa ain pada garam, rasa
manis pada madu, dan sebagainya.
Ø Simbol buatan (shinaiyah) adalah simbol yang dibuat oleh manusia, misalnya: suara jam,
klakson mobil, sirena ambilan (bersifat suara), aroma parfum (bersifat bau),
rasa masakan, rasa permen (bersifat rasa), dan sebagainya.
3)
Aspek
imitasi dan aspek konvesional (Al-Iquniyah/Al-Ishthilahiyah)
Ø Simbol imitasi (icon) adalah simbol/syarat yang bersifat tiruan (muhakat) terhadap benda
atau acuan. Misalnya, gambar film, maket bangunan, tarian adat, termasuk juga
mimpi yang dianggap sebagai simbol yang berasal dari alam bawah sadar.
Ø Simbol konvensional (istilah) adalah simbol/isyarat yang tidak meniru/tidak sama dengan benda
atau sesuatu yang menjadi acuan. Misalnya: rambu lalu lintas, huruf hijaiyah,
kosakata bahasa, not-not lagu, dan sebagainya.
4)
Aspek
sederhana dan aspek kompleks (Al-basithah/Al-murahakkabah)
Ø Simbol sederhana (basithah) yaitu simbol-simbol yang mudah dipahami, seperti: rambu-rambu lalu
lintas, bentuk salam/penghormatan, dan sebagainya.
Ø Simbol kompleks (murakkab) yaitu simbol-simbol yang disusun lebih rumit, sistematis dan rinci,
seperti: bahasa manusia yang terdiri dari unsur suara/ashwat, seperti: (ا-ب-ج-dsb), unsur kata/mufradat (كتاب, جد), unsur
gramatika/qawaid, seperti kalimat: ( يقرأ الجد الكتاب).
C.
Acuan
a.
Pengertian acuan
Acuan/sesuatu/benda
yang juga disebut “petanda” (madlul/musyar ilaih) merupakan komponen
ketiga yang menjadi bahasan semantik, terutama dalam kaitannya dengan teri
‘segitiga makna’. Acuan adalah sesuatu atau benda yang ditunjuk oleh
kata/bahasa, baik sesuatu itu bersifat realistis (jhakikat), imajinatif (khayaliyah),
maupun ilusi (wahmiyah).
b.
Klasifikasi acuan
1)
Acuan didalam bahasa
Yaitu, beberapa kosakata atau
istilah yang ditujukan ke hal-hal yang berada didalam bahasa. Misalnya,
istilah-istilah seperti: fail (subjek), maf’ul (objek), isim, jumlah,
kalimah, musnad, musnad ilaihi, dan sebagainya.
2)
Acuan ke-luar bahasa
Yaitu,
acuan/benda/sesuatu yang berada diluar bahasa, baik bersifat riil di alam
semesta maupun tidak. Acuan luar bahasa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a)
Acuan
inderawi (sensory/hissiyah)
Yaitu,
sesuatu dialam semesta yang bisa ditangkap oleh panca indra manusia,seperi:
benda-benda (gunung/جبل,pohon/شجرة, dsb.
b)
Acuan
metafisik/transendental (ghaibiyah)
Yaitu,
sesuatu yang bisa dikenal melalui pengetahuan yang berasal dari kitab-kitab
agama, seperti: jin, malaikat,dsb.
c)
Acuan
ilusi (wahmiyah)
Yaitu,
sesuatu yang tidak ada wujudnya dalam kenyataan, seperti:عنقاء , perkasa(غول),dsb
d)
Acuan
imajinatif (khayaliyah)
Yaitu,
sesuatu yang tidak ada wujudnya, akan tetapi ia tergambar melalui hal-hal yang
ada/wujud dalam realita, seperti: pribadi aktor film, drama,dsb.
e)
Acuan
abstrak(ma’nawiyah)
Yaiitu
sesuatu yang secara fisik tidak ada wujudnya, akan tetapi ia difahami secara
logis, misalnya: sifat jujur/الصدق, keadilan/العدل,dsb.
f)
Acuan
mutlak (absolut/ mujarradah)
Yaitu,
sesuatu yang mutlak berada diluar, tetapi ia tidak terfokus/tertentu pada
sesuatu. Dalam ilmu nahwu, acuan mutlak dinamakan isim jenis. Misalnya: hewan/حيوان, manusiaإنسان ,dsb.
D. Makna Dan Informasi
Dalam berbahasa,
antara ‘makna’ (Al-Ma’na) dan ‘informasi’ (Al-Ma’lum) seringkali dianggap sama.
Padahal, keduanya berbeda. Informasi bukan makna, sebab makna menyangkut
keseluruhan masalah dalam ujaran (intra-lingual), sedangkan informasi itu hanya
menyangkut masalah luar ujaran (ekstra-lingual). Dengan kata lain, makna
meliputi semua komponen konsep yang terdapat pada sebuah kata, sedangkan
informasi hanya meyangkut komponen konsep dasarnya saja.
Misalnya, kata laki-laki
dan jantan. Menurut semantik, kedua kata ini tidak sama maknanya, sebab
jika maknanya sama, tentu bisa dipertukarkan secara bebas. Kata laki-laki
dalam kalimat “wanita itu melahirkan bayi laki-laki”btidak dapat ditukar
dengan kata jantan sehingga menjadi “wanita itu melahirkan bayi jantan” sebab
kalimat kedua ini tidak bisa diterima dalam pertuturaan bahasa Indonesia.
Apabila kedua
kalimat diatas dianggap sama dan dimengerti, maka sesungguhnya yang sama disini
bukanlah makna kedua kata itu, melainkan hanya informasinya saja. Kedua kata
itu sama-sama memberi informasi tentang jenis kelamin bayi yang telah
dilahirkan wanita itu.
Jika komponen
konsep makna antara kata laki-laki dan jantan dibandingkan, maka
ditemukan komponen-komponen konsep makna yang tidak sama. Komponen kata laki-laki
meliputi: (1)jenis kelamin, (2)lawan kata dari perempuan, (3)hanya untuk
manusia, (4)halus/sopan. Sedangkan komponen kata jantan meliputi:
(1)jenis kelamin, (2)lawan kata dari betina, (3)mengarah kepada sifat, (4)lebih
sering digunakan untuk binatang. (5)kurang tepat/sopan.
Contoh lain,
pengaruh kata يستعفي dan يستففر menurut semantik, kedua kata ini memang sama artinya. Misalnya,الولد
يستعفي والدّه “anak itu meminta maaf kepada ayahnya”. Namun,
kalimat ini tidakbisa diganti dengan kalimat الولد
يستغفر ولدّه “anak
itu meminta ampunan kepada ayahnya”.sebab, komponen konsep makna dari kata يستعفي dan يستغفر tidak sama.
Komponen kata يستعفي meliputi:
(1)permohonan maaf atas kesalahan, (2)permitaan dari pihak bawahan ke atasan,
(3)bisa ditujukan kepada tuhan atau makhluknya. Sedangkan komponen kata يستغفر (1)lebih khusus
untuk mohonan ampunan dosa, (2)permintaan dari bawahan (hamba) kepada atasan,
(3)khusus ditujukan kepada Allah. jado, letak persamaan kedua kata diatas hanya
dalam hal informasi, bukan makna. Perbedaan makna lebih sering diakibatkan
karena perbedaan konteks (situasi), kebahasaan pennggunaan kata, dan
sebagainya.
Dalam leksikologi,
analisis terhadap komponen-komponen konsep makna menjadi perhatian serius bagi
para penyusun kamus. Mereka harus bisa membedakan antara informasi dan makna.
Disampin itu, mereka juga dituntut untuk mampu mengenal atau menguraikan
komponen-komponen yang ada dari sebuah kata sebagai ciri-ciri yang melekat pada
kata itu, sebelum mereka sampai pada kesimpulan dalam mendefinisikan sebuah
makna.
E.
Makna, Informasi, Maksud
Selain konsep
makna dan konsep informasi, ada konsep maksud (Al-Qashd). Menurut
Verhaar, maksud menyangkut segi ‘suyektif’ di pihak si pemakai bahasa, makna
menyangkut segi ‘objektif’dari apa yang dibicarakan dalam uajaran.
Dalam contoh
“wanita itu melahirkan bayi laki-laki”, bisa mengandung berbagai maksud
tergantung pada si penutur kalimat tersebut. Wanita yang mandul atau belum
memiliki anak, pengungkapan kalimat tersebut bisa bermaksud ‘kagum’,’salut’,
dan sebagainya. namun, bagi wanita lain yang mungkin baru saja melahirkan bayi
perempuan, kalimat tersebut bisa bermaksud ‘membedakan jenis kelamin bayinya
dengan bayi yang dilahirkan wanita itu’, ‘keinginan memiliki bayi laki-laki’,
dan sebagainya.
F.
Medan Makna
Konsep medan
leksikal atau medan makna atau ranah makna merupakan padanan konsep wortfeld
yang dikemukakan oleh Trier (1931) atau semantic field oleh Louriabury
(1956) atau lexical field oleh Coserlu (1975), Lohrer (1974), dan Lyons
(1977), atau semantic domain oleh Nida (1975) (Wedhawati, 1999). Istilah
teori medan makna atau theory of semantic field berkaitan dengan teori
bahwa perbendaharaan kata dalam suatu bahasa memiliki medan struktur, baik
secara leksikal maupun konseptual (Aminuddin, 2003).
Menurut Umar
(1982), medan makna (al-baqlu ad-dilah) merupakan seperangkat atau
kumpulan kata yang maknanya saling berkaitan. Dalam teori ini ditegaskan, bahwa
agar kita memahami makna suatu kata, maka kita harus memahami pula sekumpulan
kosa kata yang maknanya brhubungan (Umar, 1984). Pendapat yang sama jiga
dikemukakan oleh Krisdalaksana (1984), bahwa medan makna merupakan domain
semantic. Ia merupakan bagian dari sistem bahasa yang menggambarkan bagian
dari bidang kehidupan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang
direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan.
Contoh: nama warna membentuk medan makna tertentu, begitu pula nama perabot
rumah tangga, resep makanan dan minuman, peristilahan penerbangan, dan
seterusnya. De Saussure sebagaima dikutip oleh Wedhawati (1999) menyatakan
bahwa setiap butir leksikal terlibat dalam jaringan asosiasi yang menghubungkan
dengan butir leksikal lain berdasarkan kesamaan maknanya atau berdasarkan kesamaan
bentuk dan maknanya.
Dalam kaitanya
dengan medan makna ini, para pencetus teori ini, Lyon misalnya berpendapat,
bahwa (a)setiap butir leksikal hanya ada pada satu medan makna, (b)tidak ada
butir leksikal yang tidak menjadi anggota pada medan makna tertentu, (c)tidak
ada alasan untuk mengabaikan konteks, dan (d) ketidakmungkinan kajian terhadap
kosa kata terlepas dari struktur (Umar, 1982). Trier (1931) sebagaimana dikutip
oleh Wedhawati (1999) menegaskan bahwa nilai sebuah kata hanya dapat didefinisikan
jika nilai itu dihadapkan pada nilai kata-kata yang bertetangga dan berlawanan.
Hanya sebagai unsur dari keutuhanya sebuah kata mempunyai makna, sebab hanya di
dalam medan kita jumpai makna.
Dalam bahasa Arab,
kata alwan mempunyai sederetan kata yang maknanya berhubungan, yaitu ahmar
‘mereh’, azraq ‘biru’, ashfar ‘kuning’, ahdlar
‘hijau’, dan abyadl ‘putih’. Kita juga mengenal istilah kekerabatan
dalam bahasa Indonesia, misalnya anak, cucu, cicit, piut, bapak/ayah, ibu,
kakek, nenek, moyang, buyut, (Chaer, 2002).
G.
Analisis Komponensial
Teori medan makna
yang dikemukakan oleh Trier memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan teori ini
adalah tidak adanya upaya bagaimana mengidentifikasi ciri atau fitur atau
kompone makna butir-butir leksikal dalam sebuah medan leksikal (Wedhawati,
1999). Suatu cara mengidentifikasi atau memberikan makna bahasa adalah dengan
melakukan analisis komonensial (Wahab, 1999).
Gagasan awal ke
arah analisis komponensial itu terdapat dalam karya Hjemslev (1953, 1958),
tetapi prinsip-prinsip dasarnya tidak dirumuskan lebih lanjut. Baru pada awal
tahun 60-an metode analisis ini berkembang, baik di Eropa tampak pada karya
Pottier (1964), Coseriu (1964,1966), dan Greimas (1966) (Wedhawati, 1999).
Menurut pandangan
analisis komponensial, makna kata dianalisis tidak sebagai konsep yang utuh
melainkan sebagai kumpulan yang dibentuk oleh komponen-komponen makna yang
masing-masing merupakan asal semantiknya (Kemposon, 1977). Analisis ini dapat
dipergunakan untuk mendeskripsikan tata hubungan antarbutir leksikal dalam
sebuah medan leksikal (Wedhawati, 1999). Bahkan menurut Wahab (1999), cara ini
lebih tepat untuk memberikan makna leksikon. Makna suatu leksikon dapat
diungakapkan. Selanjutnya Wahab (1999) memberikan contoh pemberian leksikon girl,
deskripsi tentang leksikon girl dapat dilakukan dengan menggunakan
fitur-fitur yang mempresentasikanya.
Girl
[+HUMAN]
[-MALE]
[-ADULT].
Menurut Wahab (1999), analisis komponensial memiliki kelebihan,
antara lain dapat dipakai untuk membedakan makna suatu kata dengan makna lain,
misalnya membedakan girl, dari boy, atau woman. Perhatikan
perbedaan antara ketiga kata berikut ini.
Girl boy Woman
[+HUMAN] [+HUMAN] [+HUMAN]
[-MALE] [+MALE] [-MALE]
[-ADULT]. [-ADULT] [+ADULT]
Dari perian dengan menggunakan fitur-fitur diatas, dapat diketahui
bahwa kata girl berbeda dengan kata boy pada fitur [-MALE] dan
[+MALE]. Demikian pula, kata girl juga berbeda dengan kata woman dari
fitur [-ADULT] dan [+ADULT]. Supaya makna kata dapat diperikan, sebanyak
mungkin fitur kata ini ditampilkan. Makin banyak fitur yang ditemukan, makin
jelas makna kata yang dimaksud. Perhatikan juga contoh yang dikemukakan oleh
Gudai (1989) tentang fitur-fitur jejaka dan perawan sekaligus perbedaanya
sebagai berikut.
Jejaka perawan
[dewasa] [dewasa]
[manusia] [manusia]
[laki-laki] [perempuan]
[kawin] [tidak
kawin]
Contoh lain
sebagaimana yang dikemukakan oleh Chaser (2002) sebagai berikut ini.
Komponen
makna
|
Ayah
|
Ibu
|
1.
Insan
2.
Dewasa
3.
Jantan
4.
Kawin
|
+
+
+
+
|
+
+
-
+
|
Perbedaan makna
antara ayah dan ibu hanya terletak pada komponen makna [+jantan]
dan [-jantan]. Artinya, kelompok kata ayah memiliki ciri jantan,
sedangkan, leksikon kata ibu tidak meiliki makna jantan.
Di suatu sisi,
analisis komponensial memiliki kelebiohan sebagaimana yang telah disebutkan,
tapi di sisi lain, analisis lomponensial memiliki kelemahan. Menurut Wahab
(1999), kelemahan analisis ini terletak pada kemungkinan penambahan fituryang
sama untuk kata yang sebenarnya bersifat antonim timbal balik (yang dimaksud
dengan antonim timbal balik adalah oposisi makna kata yang bersifat
resiprokal). Misalnya kata jual dan beli. Jika anda membeli mobil
saya, pastilah saya menjual mobil tersebut kepada anda. Dalam
menjelaskan kelemahan analisis komponensial ini, Wahab (1999) memberikan contoh
perbandingan sebagaimana berikut ini.
Give take
[+CHANGE OF
POSSESSION] [+CHANGE OF
POSSESSION]
Ilustrasi diatas menjeleskan kepada kita, bahwa kedua kata tersebut
tampak mempunyai fitur yang sama, yakni adanya perubahan pemilikan (change
of possession). Dengan demikian, kedua kata tersebut tidak berbeda dalam
makna. Padahal keduanya merupakan sepasang antonim yang resiprokal.
Kelemahan lain
dari analisis komponensial ini adalah adanya kesulitan untuk memberikan
fitur-fitur secara lengkap untuk kata-kata yang digunakan sebagai fitur.
Misalnya pemberian fitur-fitur untuk human, male, adult, dan sebagainya.
terkait dengan persoalan ini, Wahab (1999) mengusulkan sebuah model lain yang
lebih memiliki penjelasan yang tuntas (explanatory edequacy) dan model
ini terdapat pada model predicate calculus. Untuk mengupas model
analisis kalkulus predikatif ini diperlukan bahasan tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar