Rabu, 04 April 2018

Makna, Simbol, Dan Acuan

Nama                : Rizal Adamani Rahmatullah
NIM                :1608102044
Klas/semester   :PBA B/ 4
Mata kuliah      :Madkhal Ilmi Ad-Dilalah Wa Al-Ma’ajim
Referensi          :
Moh. Aini dan imam Asrori, Semantik Bahasa Arab, Surabaya: Dikti, 2008.
 Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Arab,yogyakarta:UIN Malang press, 2008.

Makna, Simbol, Dan Acuan
A.     Makna
a.      Pengertian makna
Secara etimologi, kata ma’na berasal dari عني yang salah satu maknanya ialah melahirkan.karena itu, makna diartikan sebagai perkara yang dilahirkan dari tuturan. Perkara tersebut ada didalam benak manusia sebelum diungkapkan dalam sarana bahasa. Sarana ini berubah-ubah sesuai dengan perubahan makna tersebut didalam benak. Perkara yang terdapat didalam benak disimpulkan sebagai hasil pengalaman yang diolah akal secara tepat.
Hubungan antara lafal/bahasa (intra-lingual) dengan sesuatu yang ada diluar bahasa (ekstra-lingual) dikenal dengan teori ‘semantic tringle’ (mutsallats al-ma’na), yaitu segitiga bermakna yang menghubungkan antara 3 aspek dasar, yakni:
1)      Simbol/kata/signifiant/penanda (Dal/Alamah) yang terdiri dari bunyi bahasa, tulisan, isyarat dan sebagainya, seperti: kata kitab (buku).
2)      Konsep/benak/pikiran/mind (syu’ur/ fikiran) yang ada dalam fikiran manuia ketika memahami simbol/kata.
3)      Acuan/benda/sesuatu/referen/signify/pertanda (madlul/musyar ilaihi) yang ditunjuk dari simbol/ kata tersebut.
Dalam bahasan semiotika, tanda(sign)terdiri dari dua unsur yang tidak bisa dilepaskan, yaitu penanda (signifiant) dan petanda (signifi). Penanda adalah aspek materal dari bahasa, sedangkan petanda adalah makna(konsep) yang ada dalam pikiran (mind).
Tidak semua kata/simbol memiliki acuan/benda. Misalnya kata ;walaupun’, ‘aduh’, sekalipun bermakna tetapi tidak menunjukan sesuatu, tidak ada referennya. Berbeda dengan kata ‘pensil’ yang memiliki referen sebab dia menunjuk pada sesuatu (sebuah benda yang terbuat dari kayu dan biasa digunakan untuk menulis). Apabila kata/simbol dalam realita memiliki acuan dan melahirkan makna, maka makna itu disebut dengan makna refersensial. Makna refersensial (al-ma’na al-marj’i) adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referent (acuan), makna kognitif (al-ma’na al-athifi), makna afektif (al-ma’na al-wujdani), dan makna emotif (al-ma’na al-athifi).
Dalam hubungannya dengan ilmu leksikologi, kajian tentang makna sebagai hasil hubungan antara simbol/kata dan benda/acuan, sangat penting untuk dipahami sebagai pengantar. Mengingat bahwa kamus, sebagai produk dari leksikologi, harus mampu menjelaskan makna yang dihasilkan dari berbagai simbol/kosakata bahasa, baik kitayang memiliki makna referensial maupun non-referensial. Sebuah kamus dinilai lengkap, apabila semua benda/acuan/petanda yang dibutuhkan para penutur bahasa, dapat diketahui melalui pemaparan makna leksikal di dalam kamus.
b.      Klasifikasi makna
1)      Makna leksikal dan makna gramatikal
Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna dasar yang terdapat pada setiap kata atau leksikon, atau kalimah. Maksudnya, makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan acuan atau referennya. Seodijto (1986) menjelaskan bahwa makna leksikal ialah makna kata secara lepas, tanpa kaitannya dengan kata yang lain dalam sebuah konstruksi.contoh:
- أسر  ‘bagian tubuh/anggota badan paling atas atau paling depan’
-  طعام‘segala sesuatu yang dapat dan boleh dimakan, misalkan nasi dan roti.
-  كراسة‘lembaran-lembaran kertas yang dijilid dimanfaatkan oleh murid atau mahasiswa untuk mencatat pelajaran.
Berbalikan dengan makna leksikal yang tidak memerlukan kehadiran konteks, makna gramatikal justru mewajibkan kehadiran konteks. Dalam kitab an-nahwul wadih (al-jarim dan amin, tanpa tahun) bahwa kata tugas (huruf)maknanya tidak tampak sempurna kecuali berada dalam lingkungan kata lainnya. Contoh:
عاد أبي من مكة -
محمد أكبر من أخيه الأكبر -
جاء التلميذ و صاحبه -
و العصر إن الإنسان لفي خسر -
2)      Makna referensial dan makna non-referensial
Makna referensial dan makna non-referensial (المعني الامدلول dibedakan berdasarkan ada-tidaknya referen atau acuan pada kata. Jika suatu kata mempunyai referen atau acuan (sesuatu diluar bahasa yang diacu), maka kata tersebut mempunyai makna referensial المدلول المعني). Kata-kata yang termasuk kategori kata penuh (content word) pada dasarnya mempunyai makna referensial.
Maka referensial dikontraskan dengan makna non-referensial. Kata yang termasuk kata tugas (huruf) selain tidak mempunyai makna leksikal juga tidak mempunyai makna referensial.dalam hal kata yang mempunyai referen, terdapat sejumlah kata yang referennya berubah-ubah atau berpindah-pindah. Kata yang acuannya diganti-ganti disebut deiksis. Termasuk kategori kata yang referensinya berpindah atau berubah antara lain adalah kata ganti(dhamir), keterangan tempat dan keterangan waktu (dzaraf).
3)      Makna donatif dab makna konotatif
Makna denotatif dan kebalikannya makna konotatif dibedakan berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata. Setiap kata penuh mempunyai makna denotatif, tetapi tidak semuanya mempunyai makna konotatif. Makna denotatif adalah makna dasar atau makna asli yang dimiliki oleh sebuah kata. Hal itu berarti bahwa makna denotatif mengacu pada acuan yang sebenarnya atau sesuai dengan acuannya. Contoh:
أحمر - ‘warna menyerupai darah’
مات - ‘terlepasnya nyawa/ ruh dari tubuh’
Adapun makna konotatif (idhafi atau tambahan) adalah makna tabahan terhadap makna dasarnya berupa nilai, rasa, atau gambaran tertentu.contoh:
أحمر =(makna denotatif) warna, (makana konotatif) berani
حرير =(makna denotatif) binatang, (makna konotatif) najis/haram
وردة =(makana denotatif) bunga, (makana konotatif) indah, cantik, harum
طائر =(makna denotatif)kendaraan), (makana konotatif) cepat, mahal
4)      Makna kata dan makna istilah
Berdasarkan kemuman dan kekhususan bidang penggunaannya, terdapat makna kata (umum) dan makna istilah (khusus). Penggunaan secara umum maksudnya tidak dibatasi pada bidang tertentu. Sebaliknya pemakaian secara khusus adalah penggunaan kata dalam bidang tertentu.
Dalam penggunaan secara umum, makna kata عامل bersifat umum dan tidak spesifik. Kata misalnya dalam penggunaan secara umum mempunyai makna ‘yang melakukan/membuat sesuatu kegiatan, pekerja, atau aspek, unsur, dan faktor tertentu’.misalnya:
أنا أشرب القهوة,و أنا عامل هذه القهوة -
"غاتوت" عامل في مصنع الأحذية -
الجهد عامل من عوامل النجاح –
Dalam penggunaan secara khusus atau dalam bidang tertentu, عامل kata mempunyai arti yang jelas dan spesifik, meskipun meskipun tidak dimaksukan dalam kalimat. Dalam ilmu nahwu misalnya, kataعامل  bermakna ‘suatu unsur tunggal yang menyebabkan kondisi i’rab tertentu’. Adapun dalam bidang zakat, bermakna ‘orang yang mengurusi zakat’. Pedeta (2001) menyebutkan makna istilah dengan makna khusus.
5)      Makna konseftual dan makna asosiatif
Didasarkan ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain, makna dibedakan menjadi makna konseptual dan makna asosiatif (chaer, 2002). Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsep-konsep/referennya dan tidak dikaitkan dengan asosiasi tertentu. Karena itu makna konseptual pada prinsifnya sama dengan makna referensial, makna leksikal, ataupun makna denotatif.
Berbalikan dengan dengan makna konseptual, makna asosiatif adalah makna sebuah kata dikaitkan, dihubungkan, diasosiasikan dengan hal-hal tertentu di liar bahasa. Menurut Leech (dalam chare, 2002) makna asosiatif mencakup makna konotatif, stilistika, afektif, refleksi, dan kolokatif. Kataنور  ‘cahaya’ berasosiasi dengan kebenaran dan petunjuk. Sebaliknya kataظلمات  ‘kegelapan’ berasosiasi dengan kesesatan atau kekufuran.
6)      Makna idiomatik dan makna pribahasa
Makna idiomatis adalah makana satuan kebahasaan yang menyimpang dari makna leksikalnya ataupun dari makna gramatikal unsur-unsur pembentunya. Termasuk kategori idiom dalam bahasa arab adalah pasangan khas verba dengan huruf jar, misalnyaفي رغب  ‘senang’,من رغب ‘benci’. Contoh yang berupa frasa dapat dikemukakan,شرب الشجارة misalnya tidaklah bermakana ‘meminum rokok ataupun melalui mulut’, akan tetapi frasa tersebut mengandung arti ‘menghisap rokok atau merokok يدخن . idiom dapat dibedakan menjadi dua (pateda, 2001), yaitu idiom penuh, misaknya:بيت الخلاء . dan idiom sebagian, misalnya:أم القأن.
Pribahasa adalah satuan kebahasaan yang digunakan sebagai perbandingan, tetapi maknanya maknanya masih dapat dilacak dari makna leksikal da gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Sebagai contoh, satuan bagai air dan minyak, merupakan satuan yang terdiri dari atas unsur air ‘benda cair sebangsa air minum dan unsur minyak ‘benda cair yang mudah terbakar’. Didalam satuan tersebut, kedua unsurnya tetap memiliki makna leksikalnya msasing-masing. Tetapi satuan tersebut justru digunakan sebagai pembanding suatu hal diluar satuan itu sendiri, yaitu keadaan dua hal yang tidak bisabbersatu atau bercampur. Dua hal yang tidak bisa bersatu atau bercampur disamakan atau dibandingkan dengan air dan minyak yang mempunyai sifat sulit bercampur antar keduanya.
7)      Makna kiasan
Makna kiasan atau makna kias digunakan sebagai kelebihan dari makna sebenarnya (chaer, 2002). Makna kias adalah makna suatu satuan bahasa yang yang bukan makna sebenarnya (leksikal, konseptual, dan denotasi). Harimurti (dalam peteda,2001) juga mengemukakan bahwa bahasa kiasan adalah pemakaian satuan yang maknanya tidak sebenarnya.
Dalam bahasa arab terdapat kataسفينة  ‘kapal atau kendaraan laut’. Tetapi kalau dikatakanسفينة الصحراء  tentu tidak lagi bermakna kendaraan laut atau kapal. Kata tersebut mempunyai makna kias ‘onta’. Dalam hal ini onta dipadang pasir diperumpamakan atau disamakan dengan kapal dilaut.
B.      Simbol
a.      Pengertian simbol
Secara etimologi, semiotics berasal dari bahasa Yunani ‘semeion’ yang diambil dari kata ‘sema’ berarti ‘tanda’. Semiotika membahas tentang macam-macam tanda/simbol/isyarat yang terdapat pada fenomena bahasa.
Pierce membedakan ‘tanda’ menjadi 3 macam, yaitu:
1)      Iconic Sign (Al-Alamah Al-Iquniyah)
Yaitu, tanda yang menjelaskan acuan/benda-nya melalui cara imitasi (muhakah) seperti: gambar benda, lukisan, peta, patung, maket bangunan, dan sebagainya.
2)      Indexical Sign (Al-Isyariyiah)
Yaitu, tanda yang menjelaskan acuan/bendanya melalui adanya hubungan yang lazim/biasa, seperti: asap adalah tanda adanya api, suara mengeong adalah tanda adanya kucing, jejak atau sidik jaritangan adalah tanda adanya pencuri, dan sebagainya.
3)      Symbol (Al-ramz)
Yaitu, tanda yang menjelaskan acuan/benda-nya melalui adanya makna istilah yang telah disepakati manusia, seperti: rambu-rambu lalu lintas, simbol X berartiخطأ  salah, simbol musik, suara bel, dan sebagainya, termasuk juga kosakata bahasa, misalnya: شجرة (pohon), حصان (kuda), dan lain sebagainya.
b.      Klasifikasi simbol
Demikian banyak jumlah simbol yang ada, sehingga simbol perlu diklasifikasikan menurut beberapa aspek, yaitu:
1)      Aspek sengaja dan tidak sengaja (Al-Iradiyah/Al-Lairadiyah)
Ø  Simbol fakultatif (Iradiyah), yaitu simbol-simbol yang sengaja muncul dari manusia. Simbol fukultatif ada yang sifatnya sekedar bertujuan untuk menyampaikan informasi/pesan. Misalnya, rambu-rambu lalu lintas, aba-aba dalam baris-berbaris, bunyi bel sekolah, klakson mobil, dan lain sebagainya.
Ø  Simbol non-fukultatif (La-Iradiyah), yaitu simbol-simbol yang muncul dari manusia secara tidak sengaja. Ada simbol yang bersifat suara (shautiyah), seperti: batuk, bersin, tangisan, dan lainnya. Ada simbol yang bersifat gerakan (harakiyah), seperti: aliran darah, tetesan keringat di badan dan lain sebagainya. Ada pula simbol yang bersifat bentuk (syakliyah), seperti: ‘wajah memerah’ adalah simbol kemarahan, ‘uban/rambut putih’ adalah tanda bertambahnya usia seseorang, dan sebagainya.
2)      Aspek natural dan aspek buatan (Al-Thabi’iyah/Al-Shinaiyah)
Ø  Simbol natural (Thabi’iyah) adalah simbol yang muncul secara alami. Simbol alami yang bersifat suara (Shautiyah), seperti: suara lebah, kicau burung, dan sebagainya. Simbol alami bersifat gerakan (harkiyah), seperti: pergerakan daun sebagai tanda arah angin, gerak awan, dan sebagainya. Simbol alami yang bersifat bentuk (syakliyah), seperti: bentuk bulan sebagai tanda perjalanan kalender, warna buah sebagai tanda matang, dan sebagainya. Simbol alami yang bersifat aroma/bau (raihiyah) seperti : aroma bunga, bau binatang, dan sebagainya. Simbol alami yang bersifat rasa (dzauqiyah), srperti: rasa ain pada garam, rasa manis pada madu, dan sebagainya.
Ø  Simbol buatan (shinaiyah) adalah simbol yang dibuat oleh manusia, misalnya: suara jam, klakson mobil, sirena ambilan (bersifat suara), aroma parfum (bersifat bau), rasa masakan, rasa permen (bersifat rasa), dan sebagainya.
3)      Aspek imitasi dan aspek konvesional (Al-Iquniyah/Al-Ishthilahiyah)
Ø  Simbol imitasi (icon) adalah simbol/syarat yang bersifat tiruan (muhakat) terhadap benda atau acuan. Misalnya, gambar film, maket bangunan, tarian adat, termasuk juga mimpi yang dianggap sebagai simbol yang berasal dari alam bawah sadar.
Ø  Simbol konvensional (istilah) adalah simbol/isyarat yang tidak meniru/tidak sama dengan benda atau sesuatu yang menjadi acuan. Misalnya: rambu lalu lintas, huruf hijaiyah, kosakata bahasa, not-not lagu, dan sebagainya.
4)      Aspek sederhana dan aspek kompleks (Al-basithah/Al-murahakkabah)
Ø  Simbol sederhana (basithah) yaitu simbol-simbol yang mudah dipahami, seperti: rambu-rambu lalu lintas, bentuk salam/penghormatan, dan sebagainya.
Ø  Simbol kompleks (murakkab) yaitu simbol-simbol yang disusun lebih rumit, sistematis dan rinci, seperti: bahasa manusia yang terdiri dari unsur suara/ashwat, seperti: (ا-ب-ج-dsb), unsur kata/mufradat (كتاب, جد), unsur gramatika/qawaid, seperti kalimat: ( يقرأ الجد الكتاب).
C.    Acuan
a.      Pengertian acuan
Acuan/sesuatu/benda yang juga disebut “petanda” (madlul/musyar ilaih) merupakan komponen ketiga yang menjadi bahasan semantik, terutama dalam kaitannya dengan teri ‘segitiga makna’. Acuan adalah sesuatu atau benda yang ditunjuk oleh kata/bahasa, baik sesuatu itu bersifat realistis (jhakikat), imajinatif (khayaliyah), maupun ilusi (wahmiyah).
b.      Klasifikasi acuan
1)      Acuan didalam bahasa
Yaitu, beberapa kosakata atau istilah yang ditujukan ke hal-hal yang berada didalam bahasa. Misalnya, istilah-istilah seperti: fail (subjek), maf’ul (objek), isim, jumlah, kalimah, musnad, musnad ilaihi, dan sebagainya.
2)      Acuan ke-luar bahasa
Yaitu, acuan/benda/sesuatu yang berada diluar bahasa, baik bersifat riil di alam semesta maupun tidak. Acuan luar bahasa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a)      Acuan inderawi (sensory/hissiyah)
Yaitu, sesuatu dialam semesta yang bisa ditangkap oleh panca indra manusia,seperi: benda-benda (gunung/جبل,pohon/شجرة, dsb.
b)      Acuan metafisik/transendental (ghaibiyah)
Yaitu, sesuatu yang bisa dikenal melalui pengetahuan yang berasal dari kitab-kitab agama, seperti: jin, malaikat,dsb.
c)      Acuan ilusi (wahmiyah)
Yaitu, sesuatu yang tidak ada wujudnya dalam kenyataan, seperti:عنقاء , perkasa(غول),dsb
d)     Acuan imajinatif (khayaliyah)
Yaitu, sesuatu yang tidak ada wujudnya, akan tetapi ia tergambar melalui hal-hal yang ada/wujud dalam realita, seperti: pribadi aktor film, drama,dsb.
e)      Acuan abstrak(ma’nawiyah)
Yaiitu sesuatu yang secara fisik tidak ada wujudnya, akan tetapi ia difahami secara logis, misalnya: sifat jujur/الصدق, keadilan/العدل,dsb.
f)       Acuan mutlak (absolut/ mujarradah)
Yaitu, sesuatu yang mutlak berada diluar, tetapi ia tidak terfokus/tertentu pada sesuatu. Dalam ilmu nahwu, acuan mutlak dinamakan isim jenis. Misalnya: hewan/حيوان, manusiaإنسان ,dsb.

D.     Makna Dan Informasi
            Dalam berbahasa, antara ‘makna’ (Al-Ma’na) dan ‘informasi’ (Al-Ma’lum) seringkali dianggap sama. Padahal, keduanya berbeda. Informasi bukan makna, sebab makna menyangkut keseluruhan masalah dalam ujaran (intra-lingual), sedangkan informasi itu hanya menyangkut masalah luar ujaran (ekstra-lingual). Dengan kata lain, makna meliputi semua komponen konsep yang terdapat pada sebuah kata, sedangkan informasi hanya meyangkut komponen konsep dasarnya saja.
            Misalnya, kata laki-laki dan jantan. Menurut semantik, kedua kata ini tidak sama maknanya, sebab jika maknanya sama, tentu bisa dipertukarkan secara bebas. Kata laki-laki dalam kalimat “wanita itu melahirkan bayi laki-laki”btidak dapat ditukar dengan kata jantan sehingga menjadi “wanita itu melahirkan bayi jantan” sebab kalimat kedua ini tidak bisa diterima dalam pertuturaan bahasa Indonesia.
            Apabila kedua kalimat diatas dianggap sama dan dimengerti, maka sesungguhnya yang sama disini bukanlah makna kedua kata itu, melainkan hanya informasinya saja. Kedua kata itu sama-sama memberi informasi tentang jenis kelamin bayi yang telah dilahirkan wanita itu.
            Jika komponen konsep makna antara kata laki-laki dan jantan dibandingkan, maka ditemukan komponen-komponen konsep makna yang tidak sama. Komponen kata laki-laki meliputi: (1)jenis kelamin, (2)lawan kata dari perempuan, (3)hanya untuk manusia, (4)halus/sopan. Sedangkan komponen kata jantan meliputi: (1)jenis kelamin, (2)lawan kata dari betina, (3)mengarah kepada sifat, (4)lebih sering digunakan untuk binatang. (5)kurang tepat/sopan.
            Contoh lain, pengaruh kata يستعفي dan يستففر menurut semantik, kedua kata ini memang sama artinya. Misalnya,الولد يستعفي والدّه  “anak itu meminta maaf kepada ayahnya”. Namun, kalimat ini tidakbisa diganti dengan kalimat الولد يستغفر ولدّه “anak itu meminta ampunan kepada ayahnya”.sebab, komponen konsep makna dari kata يستعفي dan يستغفر tidak sama.
            Komponen kata يستعفي meliputi: (1)permohonan maaf atas kesalahan, (2)permitaan dari pihak bawahan ke atasan, (3)bisa ditujukan kepada tuhan atau makhluknya. Sedangkan komponen kata يستغفر (1)lebih khusus untuk mohonan ampunan dosa, (2)permintaan dari bawahan (hamba) kepada atasan, (3)khusus ditujukan kepada Allah. jado, letak persamaan kedua kata diatas hanya dalam hal informasi, bukan makna. Perbedaan makna lebih sering diakibatkan karena perbedaan konteks (situasi), kebahasaan pennggunaan kata, dan sebagainya.    
            Dalam leksikologi, analisis terhadap komponen-komponen konsep makna menjadi perhatian serius bagi para penyusun kamus. Mereka harus bisa membedakan antara informasi dan makna. Disampin itu, mereka juga dituntut untuk mampu mengenal atau menguraikan komponen-komponen yang ada dari sebuah kata sebagai ciri-ciri yang melekat pada kata itu, sebelum mereka sampai pada kesimpulan dalam mendefinisikan sebuah makna.
E.      Makna, Informasi, Maksud
            Selain konsep makna dan konsep informasi, ada konsep maksud (Al-Qashd). Menurut Verhaar, maksud menyangkut segi ‘suyektif’ di pihak si pemakai bahasa, makna menyangkut segi ‘objektif’dari apa yang dibicarakan dalam uajaran.
            Dalam contoh “wanita itu melahirkan bayi laki-laki”, bisa mengandung berbagai maksud tergantung pada si penutur kalimat tersebut. Wanita yang mandul atau belum memiliki anak, pengungkapan kalimat tersebut bisa bermaksud ‘kagum’,’salut’, dan sebagainya. namun, bagi wanita lain yang mungkin baru saja melahirkan bayi perempuan, kalimat tersebut bisa bermaksud ‘membedakan jenis kelamin bayinya dengan bayi yang dilahirkan wanita itu’, ‘keinginan memiliki bayi laki-laki’, dan sebagainya.

F.      Medan Makna
            Konsep medan leksikal atau medan makna atau ranah makna merupakan padanan konsep wortfeld yang dikemukakan oleh Trier (1931) atau semantic field oleh Louriabury (1956) atau lexical field oleh Coserlu (1975), Lohrer (1974), dan Lyons (1977), atau semantic domain oleh Nida (1975) (Wedhawati, 1999). Istilah teori medan makna atau theory of semantic field berkaitan dengan teori bahwa perbendaharaan kata dalam suatu bahasa memiliki medan struktur, baik secara leksikal maupun konseptual (Aminuddin, 2003).
            Menurut Umar (1982), medan makna (al-baqlu ad-dilah) merupakan seperangkat atau kumpulan kata yang maknanya saling berkaitan. Dalam teori ini ditegaskan, bahwa agar kita memahami makna suatu kata, maka kita harus memahami pula sekumpulan kosa kata yang maknanya brhubungan (Umar, 1984). Pendapat yang sama jiga dikemukakan oleh Krisdalaksana (1984), bahwa medan makna merupakan domain semantic. Ia merupakan bagian dari sistem bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kehidupan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Contoh: nama warna membentuk medan makna tertentu, begitu pula nama perabot rumah tangga, resep makanan dan minuman, peristilahan penerbangan, dan seterusnya. De Saussure sebagaima dikutip oleh Wedhawati (1999) menyatakan bahwa setiap butir leksikal terlibat dalam jaringan asosiasi yang menghubungkan dengan butir leksikal lain berdasarkan kesamaan maknanya atau berdasarkan kesamaan bentuk dan maknanya.
            Dalam kaitanya dengan medan makna ini, para pencetus teori ini, Lyon misalnya berpendapat, bahwa (a)setiap butir leksikal hanya ada pada satu medan makna, (b)tidak ada butir leksikal yang tidak menjadi anggota pada medan makna tertentu, (c)tidak ada alasan untuk mengabaikan konteks, dan (d) ketidakmungkinan kajian terhadap kosa kata terlepas dari struktur (Umar, 1982). Trier (1931) sebagaimana dikutip oleh Wedhawati (1999) menegaskan bahwa nilai sebuah kata hanya dapat didefinisikan jika nilai itu dihadapkan pada nilai kata-kata yang bertetangga dan berlawanan. Hanya sebagai unsur dari keutuhanya sebuah kata mempunyai makna, sebab hanya di dalam medan kita jumpai makna.
            Dalam bahasa Arab, kata alwan mempunyai sederetan kata yang maknanya berhubungan, yaitu ahmar ‘mereh’, azraq ‘biru’, ashfar ‘kuning’, ahdlar ‘hijau’, dan abyadl ‘putih’. Kita juga mengenal istilah kekerabatan dalam bahasa Indonesia, misalnya anak, cucu, cicit, piut, bapak/ayah, ibu, kakek, nenek, moyang, buyut, (Chaer, 2002).
G.     Analisis Komponensial
            Teori medan makna yang dikemukakan oleh Trier memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan teori ini adalah tidak adanya upaya bagaimana mengidentifikasi ciri atau fitur atau kompone makna butir-butir leksikal dalam sebuah medan leksikal (Wedhawati, 1999). Suatu cara mengidentifikasi atau memberikan makna bahasa adalah dengan melakukan analisis komonensial (Wahab, 1999).
            Gagasan awal ke arah analisis komponensial itu terdapat dalam karya Hjemslev (1953, 1958), tetapi prinsip-prinsip dasarnya tidak dirumuskan lebih lanjut. Baru pada awal tahun 60-an metode analisis ini berkembang, baik di Eropa tampak pada karya Pottier (1964), Coseriu (1964,1966), dan Greimas (1966) (Wedhawati, 1999).
            Menurut pandangan analisis komponensial, makna kata dianalisis tidak sebagai konsep yang utuh melainkan sebagai kumpulan yang dibentuk oleh komponen-komponen makna yang masing-masing merupakan asal semantiknya (Kemposon, 1977). Analisis ini dapat dipergunakan untuk mendeskripsikan tata hubungan antarbutir leksikal dalam sebuah medan leksikal (Wedhawati, 1999). Bahkan menurut Wahab (1999), cara ini lebih tepat untuk memberikan makna leksikon. Makna suatu leksikon dapat diungakapkan. Selanjutnya Wahab (1999) memberikan contoh pemberian leksikon girl, deskripsi tentang leksikon girl dapat dilakukan dengan menggunakan fitur-fitur yang mempresentasikanya.
                        Girl
                        [+HUMAN]
                        [-MALE]
                        [-ADULT].
            Menurut Wahab (1999), analisis komponensial memiliki kelebihan, antara lain dapat dipakai untuk membedakan makna suatu kata dengan makna lain, misalnya membedakan girl, dari boy, atau woman. Perhatikan perbedaan antara ketiga kata berikut ini.
Girl                             boy                              Woman
                        [+HUMAN]                [+HUMAN]                [+HUMAN]
                        [-MALE]                    [+MALE]                   [-MALE]
                        [-ADULT].                 [-ADULT]                  [+ADULT]
Dari perian dengan menggunakan fitur-fitur diatas, dapat diketahui bahwa kata girl berbeda dengan kata boy pada fitur [-MALE] dan [+MALE]. Demikian pula, kata girl juga berbeda dengan kata woman dari fitur [-ADULT] dan [+ADULT]. Supaya makna kata dapat diperikan, sebanyak mungkin fitur kata ini ditampilkan. Makin banyak fitur yang ditemukan, makin jelas makna kata yang dimaksud. Perhatikan juga contoh yang dikemukakan oleh Gudai (1989) tentang fitur-fitur jejaka dan perawan sekaligus perbedaanya sebagai berikut.
            Jejaka                                     perawan
            [dewasa]                                  [dewasa]
            [manusia]                                 [manusia]
            [laki-laki]                                 [perempuan]
            [kawin]                                    [tidak kawin]

            Contoh lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Chaser (2002) sebagai berikut ini.
Komponen makna
Ayah
Ibu
1.      Insan
2.      Dewasa
3.      Jantan
4.      Kawin
+
+
+
+
+
+
-
+

            Perbedaan makna antara ayah dan ibu hanya terletak pada komponen makna [+jantan] dan [-jantan]. Artinya, kelompok kata ayah memiliki ciri jantan, sedangkan, leksikon kata ibu tidak meiliki makna jantan.
            Di suatu sisi, analisis komponensial memiliki kelebiohan sebagaimana yang telah disebutkan, tapi di sisi lain, analisis lomponensial memiliki kelemahan. Menurut Wahab (1999), kelemahan analisis ini terletak pada kemungkinan penambahan fituryang sama untuk kata yang sebenarnya bersifat antonim timbal balik (yang dimaksud dengan antonim timbal balik adalah oposisi makna kata yang bersifat resiprokal). Misalnya kata jual dan beli. Jika anda membeli mobil saya, pastilah saya menjual mobil tersebut kepada anda. Dalam menjelaskan kelemahan analisis komponensial ini, Wahab (1999) memberikan contoh perbandingan sebagaimana berikut ini.
            Give                                                                take
            [+CHANGE OF POSSESSION]                 [+CHANGE OF POSSESSION]
Ilustrasi diatas menjeleskan kepada kita, bahwa kedua kata tersebut tampak mempunyai fitur yang sama, yakni adanya perubahan pemilikan (change of possession). Dengan demikian, kedua kata tersebut tidak berbeda dalam makna. Padahal keduanya merupakan sepasang antonim yang resiprokal.
            Kelemahan lain dari analisis komponensial ini adalah adanya kesulitan untuk memberikan fitur-fitur secara lengkap untuk kata-kata yang digunakan sebagai fitur. Misalnya pemberian fitur-fitur untuk human, male, adult, dan sebagainya. terkait dengan persoalan ini, Wahab (1999) mengusulkan sebuah model lain yang lebih memiliki penjelasan yang tuntas (explanatory edequacy) dan model ini terdapat pada model predicate calculus. Untuk mengupas model analisis kalkulus predikatif ini diperlukan bahasan tersendiri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar